Aleanora

5K 883 36
                                    

Aku melihat hasil cetakan foto di meja. Dikirim sehari lalu lewat ojek daring. Foto itu seukuran kantong dompet. Di sana ada aku dan Alva yang tengah menggendong bayi Tiara. Foto itu dikirimkan Alva seminggu lalu. Katanya, Fayra yang memotret kami dengan ponselnya.
Keputusanku untuk habis-habisan menyukai Alva sudah bulat. Pikiranku dan hatiku sekarang sudah sejalan. Sadar bahwa sekarang sudah terlalu terlambat untuk mundur atau mendorong pergi Alva. Hati dan pikiranku sudah menjatuhkan pilihan.

Jadi, layaknya diriku yang jatuh cinta parah pada Alvin saat berusia dua puluhan, aku sekarang juga akan melakukan hal yang sama pada Alva. Sama seperti orang bodoh yang tengah berbunga-bunga, aku mencetak foto yang dikirimkan Alva dan akan menyimpannya di dalam dompet.

“Kamu bakal menyesal Al, karena bikin aku kayak gini. Aku bakal jadi manusia paling clingy di alam semesta ini.” Aku memasukkan foto ke dalam dompet lalu mulai berdandan. Mengaplikasikan tabur surya sebelum memakai foundation dan concealar.

Ini pertama kalinya aku memakai make up lengkap. Dari yang paling dasar sampai ke tahap bedak. Mengoles bibirku dengan lipstik warna nude agar tak terlalu kelihatan aku berdandan untuk Alva hari ini.
Aku memilih warna netral untuk baju kerjaku Agar tidak terlalu mencolok. Hari ini aku juga akan menggerai rambutku. Dikta, dulu sekali, pernah memujiku kalau aku selalu kelihatan cantik saat menggerai rambut. Dia selalu bilang, “Jangan gerai rambut kamu kalau nggak pengen punya pacar dalam waktu dekat. Rambut kamu punya kekuatan nambah kecantikan soalnya.”

Sekadar informasi saja, Dikta memang pandai memuji orang-orang yang tidak memberikan efek pada jantungnya. Sementara untuk perempuan yang mampu membuat jantungnya kocar-kacir, Dikta lebih banyak memuji tetapi puja pujiannya dilakukan dihadapanku. Dengan intensitas ratusan kali dalam dua puluh empat jam.

Sayangnya, Alva sudah tak berada di rumah saat aku selesai berdandan. Dia berangkat lebih awal. Meninggalkan sarapan berupa roti panggang kesukaanku saat pagi begitu cerahnya.

Tidak apa-apa, nanti jam makan siang Alva akan muncul. Semingguan ini, Alva selalu hadir di tempatku bekerja hanya untuk menyeretku agar kami bisa makan siang bersama. Terkadang ke tempat makan terdekat dari ruko, terkadang pesan lewat daring dan makan bersama di kantor.

“Akhirnya bisa istirahat hari ini, Let,” sapa Kak Fabian beberapa jam kemudian. Saat aku tengah sibuk dengan tabel-tabel di layar komputer.

“Udah nggak ada armada yang diurus?” tanyaku setelah mengalihkan pandangan dari komputer.

Dia menggeleng. “Kalau nggak ada armada yang rusak, kerjaan aku baru ada akhir bulan ini.”

“Wah, aku ada temennya tiap hari kalau gitu.”

“Harusnya ada pengganti sementara karena Tiara cuti melahirkan. Ngomong aja ke Papa kamu, dia pasti kirim orang buat bantu kerjaan di sini.”

Aku menggeleng. “Kalau Papa kirim Mama gimana, Kak Fabian? Aku ogah deket-deket Mama.”

“Belum akur sama Mama kamu?” tanya Kak Fabian sambil mengangkat alis, terlihat heran.

Kak Fabian adalah satu dari sedikit orang yang tahu tentang kehidupan pribadiku beserta masalah-masalah yang ikut di belakangku. Dia tahu aku meninggalkan Alvin di altar, dia tahu aku bermasalah dengan Mama karena perjodohan-perjodohan yang Mama buat. Pengetahuannya tentang hidupku tak jauh beda dari Fayra.

Kalau diingat-ingat, masalah perjodohan-perjodohan yang Mama lakukan setahun lalu sebetulnya dampak dari sikapku selama ini. Setelah memutuskan untuk meninggalkan Alvin di altar sebelum pengucapan janji, semua tetangga di rumah orang tuaku memang sering menggunjingkan aku dan keluargaku.
Mama dan Papa dilabeli sebagai orang tua tidak becus. Yang membiarkan anak gadisnya mempermalukan keluarga besarku dan keluarga besar Alvin. Kebencian karena tingkah kurang ajarku berbuntut panjang. Banyak tersebar rumor buruk tentangku. Gosip-gosip makin terdengar memekakan telinga karena aku tidak menunjukkan rasa bersalah setelahnya.

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now