"Ya, jadi gimana, Mbak?"

"Nanti deh, Mbak coba ngomong dulu sama Pak Ferdy," cicitnya tak yakin.

Supervisor baru dealer ini, terlihat tak menyukainya. Pria awal 40-an itu, hanya menaruh perhatian pada pegawai-pegawai muda yang menyegarkan mata. Tipe-tipe mata keranjang, bila Nada boleh berkomentar. Awalnya, Nada justru merasa senang karena pria berbadan tambun itu tak menaruh perhatian sedikit pun padanya. Namun kini, ia mulai berspekulasi, bisa saja surat yang berada di atas mejanya ini adalah andil dari pria tersebut yang tak ingin melihatnya berlama-lama di sini.

"Kalau nggak minta tolong Pak Heru aja, Mbak? Kan Pak Heru bilang, kalau ada apa-apa, Mbak kudu bilang sama dia."

Masalahnya, Nada yang tidak ingin.

Heru adalah supervisor terlama yang menjabat di dealer ini. Merupakan teman Nada ketika berseragam putih abu-abu. Heru menikah setahun yang lalu. Dan masalahnya, terletak pada istri temannya tersebut. Wanita itu tampak sangat anti sekali pada Nada. Mungkin, karena statusnya sebagai janda. Stigma di masyarakat berhasil membentuk image janda sebagai wanita yang tidak benar begitu melekat kuat. Dan istri Heru termakan stigma itu bulat-bulat.

Heru pernah bercerita dulu, kalau pria itu sempat bertengkar karena sang istri cemburu dengan keberadaan Nada. Dan dari sana, Nada mulai menjaga jarak. Tiga bulan lalu, Heru naik jabatan. Mereka tak lagi bekerja di wilayah yang sama. Dari WhatsApp story istrinya, Nada tahu wanita itu teramat merasa lega dengan kepindahan Heru. Makanya, Nada berjanji pada diri sendiri agar tak lagi menyusahkan Heru hanya tuk kepentingannya.

Tetapi sekarang, ia harus apa?

Pilihan di surat itu ada dua ; bila tidak mengajukan resign, ia harus bersedia pergi ke luar daerah.

Masalahnya, bagaimana dengan anak-anaknya?

Menitipkan mereka pada mantan suaminya?

Hm, Nada tidak yakin.

***

Nada adalah anak kedua dari empat bersaudara.

Kakak perempuannya sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Mereka tinggal tak jauh dari rumah orangtua Nada. Suami kakaknya merupakan karyawan BUMN. Hidup kakaknya tentu saja berkecukupan.

Memiliki seorang adik laki-lakinya bekerja sebagai driver ojek online, Oka sering sekali bertengkar dengan adik laki-laki Nada itu. Sementara Adik bungsunya adalah perempuan, sudah bekerja juga sebagai pramuniaga di sebuah toko sepatu yang berada di salah satu pusat perbelanjaan. Dan Lova lebih sering dibuat menangis oleh adik perempuan Nada tersebut.

Entah kenapa, semenjak bercerai dan ditampung bapak kembali di rumah keluarga mereka yang sempit, perlakuan saudara-saudaranya mendadak berubah. Selain tak menghormatinya, mereka juga tampak enggan menyayangi anak-anaknya. Kakak perempuannya yang kerap menyindir adik-adiknya yang terkadang begitu terang-terangan menyatakan bahwa ia dan anak-anaknya beban. Padahal, setiap bulan ia juga memberikan uang pada ibunya untuk berbelanja. Membeli token listrik juga tanggung jawabnya. Ia dan kedua anaknya hanya menempati satu kamar berukuran 3x3 yang berada didekat dapur. Sebuah ruang yang sebenarnya teramat sesak untuk dihuni oleh dua orang remaja dan satu orang dewasa.

"Abang kenapa?" ia menjumpai anak laki-lakinya yang duduk termenung di teras. Mata sang putra terlihat sembab. Tetapi, ketika melihat kepulangannya tadi sang putra langsung membuang muka. Buatnya kontan menepikan kegelisahannya akibat permasalahan ditempat kerja. "Bang?"

Celana pendeknya kotor dengan lumpur. Kedua kakinya tidak beralas selop hitam yang biasa ia kenakan bila sedang di luar rumah. Sambil menyeka keringat di pelipis, Oksata menarik napas panjang. "Nggak apa-apa, Bun," dustanya enggan menatap sang ibu.

Aksara SenadaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz