Chapter CII (When Mark Meets Haechan in Their Universe: Psyche)

Mulai dari awal
                                        

"Begitu?" balas Mark dengan alis yang terangkat heran, "Tapi dunia nyata tidak seindah imajinasi kan?"

"Maaaaaarrrk!"

Saking kesal-kesal gemas dengan perkataan Mark tersebut, Haechan sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak kembali menyubit kedua pipi Mark, hanya untuk menariknya meski dengan tenaga main-main.

"Mereka masih anak-anak! Apa salahnya membiarkan mereka menikmati imajinasi mereka sih?!"

Sambil berusaha melepaskan cubitan jemari Haechan dari pipinya, Mark sengaja memindahkan posisinya jadi duduk di samping kanan Haechan dengan punggung yang juga menempel pada sandaran ranjang, agar lengannya lebih leluasa ketika melingkar di pinggang Haechan seperti saat ini.

"Dan membiarkan mereka hancur kelak saat imajinasi mereka tidak sesuai kenyataan?" ucap Mark sambil terkekeh kecil, "Bukannya lebih baik menunjukan yang sebenarnya dari awal, dibandingkan memberi mereka imajinasi palsu?"

"Maaaaaark!"

Di sela-sela mulutnya yang sempat ternganga akan pemikiran Mark yang terlalu kejam bagi seukuran anak-anak itu, pada akhirnya Haechan hanya bisa memanggil nama Mark dengan nada begitu frustasi.

"Sial! Jangan sampai kau benar-benar melakukan semua itu pada anak-anak ya!" ucap Haechan gemas; gemas sekali ingin menabok kepala Mark, "Pokoknya tidak boleh! Itu sangat jahat dan keterlaluan!"

Mendapati betapa menggebu-gebunya Haechan saat mengomeli dirinya tentang anak-anak, Mark sendiri malah memperhatikan segala ekspresi menggemaskan Haechan dengan senyum kecil di bibirnya, sebab rencananya untuk menjahili Haechan ternyata membuahkan hasil sesuai ekspektasinya.

Iya.

Mark memahami cara berpikir Haechan tentang anak-anak dan imajinasi mereka, bahkan sama sekali tidak menolak pemikiran itu.

Sungguh.

Perkataannya tadi hanya iseng semata kok.

Benar-benar hanya ingin membuat Haechan merasa kesal, hingga mengomelinya dengan begitu menggemaskan seperti saat ini.

Dan ya, Mark sangat menikmatinya.

Hanya saja kalau boleh jujur, alasan mengapa Mark tidak mencium Haechan di pernikahan mereka tadi siang, tentu saja karena takut... kelepasan?

Sama halnya dengan ciuman yang baru saja terjadi di antara mereka. Padahal niat awal Mark hanya ingin memberi kecupan singkat di bibir Haechan, demi menenangkan sang pudu dari segala reaksi paniknya.

Dan yah, sudah tahu sendiri kan hasilnya seperti apa?

Mark malah kelepasan hingga mencumbui bibir Haechan dengan pagutan yang lumayan intens.

Ya mau bagaimana lagi?

Mark tidak akan bersikap munafik dengan menolak fakta, bila bibir Haechan itu bagai candu memabukan, yang tentunya membuat Mark begitu ketagihan untuk mencumbuinya dengan ciuman menggairahkan yang selalu menjadi fantasinya, meski mereka sudah sering berciuman sekalipun.

Pokoknya bagi Mark, segala apapun yang ada pada Haechan adalah candu, yang membuatnya sangat mustahil untuk tidak menjadi gila karenanya.

Dan tentunya tidak etis sekali kan, kalau Mark sampai membuat Haechan mengerang hebat di hadapan para anak polos itu berkat ciuman panas mereka?

"Mark! Kau dengar aku tidak sih?!"

Baiklah.

Mark akui dirinya sempat terjebak pada pemikirannya, sampai tidak menyadari bila wajah Haechan kini hanya berjarak beberapa senti saja darinya dengan ekspresi yang terlihat begitu kesal.

ReverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang