“Sa-saya? Saya percaya sama Alvaro,”

“Yang penting kamu percaya sama saya. Yang lain saya nggak peduli,”

Naaahh kan…wajarlah Alvaro bisa dapet piala Citra karena perannya di film. Di dunia nyata aja aktingnya bisa setotal ini. Mello sempat nyaris jatuh terjengkang dari tempatnya duduk saat konfrensi pers gara-gara Alvaro yang tiba-tiba menggenggam tangannya dan memandangnya dengan lembut. Alvaro pintar sekali mengimitasi karakter Fabio untuk image-nya di depan publik. Hanya minus sorot mata sendu dan genggaman hangat yang lembut. Ckk. Benar-benar penipu ulung.

Mello meletakkan remote di tangannya ke atas meja. Selera menontonnya jadi hilang gara-gara melihat muka Alvaro ditayangkan dimana-mana. Sudah cukup rasanya dia melihat Alvaro mondar-mandir di rumah. Mulai dari yang pakai pakaian lengkap sampai yang telanjang dada. Mello berdoa dalam hati agar Alvaro tidak terlalu sering muncul dari dalam kamar mandi hanya memakai celana pendek dan tubuh masih basah. Itu berbahaya bagi kesehatan mata dan hidungnya. Kenapa hidung? Karena penampakan Alvaro yang begitu bisa membuatnya diserang mimisan akut. Semenyebalkan apapun Alvaro, tetap saja dia keren, seksi, ganteng. Dan sekesal apapun Mello dibuatnya, tetap saja dia wanita normal dan baik-baik. Pemandangan seperti itu bisa membangkitkan pemikiran-pemikiran mesum yang berbahaya bagi otaknya. Bermesum-ria dengan Alvaro sebagai objeknya? Oh, tolong seseorang menyiram kepala Mello dengan timah panas. Dia pasti sudah gila.

“Mello…,” terdengar suara Alvaro memanggil dari dalam kamar. Mello tidak langsung menyahut. Kalau Alvaro sudah memanggil nama Mello, kemungkinannya ada dua. Alvaro memanggilnya atau memanggil kucing Ragdoll yang sedang bergelung malas di atas sofa bulat pribadinya.

“Woy…Mello,” ulang Alvaro lagi. Nah, kalo pake way woy gini pasti memanggilku, batin Mello.

“Iyaaaaahhhh,” sahutnya tanpa beranjak dari kursi.

“Sini,” teriak Alavaro lagi.

“Ogaaahhh. Males bediri…,” Mello kembali menyahuti. Kayaknya tarzan akan sangat bahagia kalau ada yang mempraktekkan kehidupan rimba raya dengan berteriak-teriak dalam rumah begini. Ya kali ni rumah rimba belantara di pedalaman Afrika sana.

“Aku heran ya. memangnya bokong ratamu itu seberat apa sampai-sampai susah sekali berdiri,” Alvaro sudah berkacak pinggang di dekatnya. Mello mendongak lalu melengos malas. Aihhh, keluar kamar dengan kancing kemeja belum terpasang semua begitu. Aihh, rambutnya masih basah pula. Aihh, acak-acakan pula. Aihhh, keren, ganteng, seksi. Aihhh, tapi aura kelamnya masih tetap bergelayut. Aihh, suram. Aihhh…seribu kali aihhh…

“Sana kemasi pakaianmu,” suruh Alvaro masih dengan gaya bossy-nya. Dia duduk di samping Mello sembari memasang kancing kemejanya satu-persatu.

“Kenapa?” tanya Mello. Ia tidak segera beranjak.

“Aku mau ke Pontianak beberapa hari. Ada syuting,” sahut Alvaro. Dia melirik layar TV dan tersenyum tipis melihat berita tentangnya.

“Aku ikut?” masih saja Mello bertanya. Alvaro berdecak kesal lalu menoleh, memelototi Mello dengan mata tajamnya.

“Kemasi pakaianmu. Kau menginap di rumah Oma selama aku tidak disini. Kurasa tidak usah banyak-banyak. Beberapa saja. Tante Anne pasti juga sudah menyiapkan pakaian untukmu. Sebentar lagi mereka menjemput. Jadi jangan lelet seperti cara otakmu berpikir ya,” katanya panjang tanpa jeda.

“Aku tinggal dirumah aja nggak apa-apa kok,” kata Mello cepat. Tinggal di tempat Oma? Emmmh, mereka baik sih. Bukan tipe-tipe keluarga orang kaya di sinetron-sinetron yang suka menganiaya. Tapi tetap saja Mello was-was. Rumah itu ibarat kantung ajaib Doraemon yang penuh kejutan. Bagaimana kalau Tante Anne atau Tante Tami atau Oma merencanakan sesuatu yang aneh dan sulit dicerna akal sehat Mello? Kalau hanya masalah memancing di kolam renang atau di akuarium yang sering dilakukan Oma, itu tidak masalah. Tapi bagaimana kalau Tante Anne maksa ngajak Brazilian wax lagi?! Gilaaaa. Ogah Mello ogaaaah.

Caramello Kiss-OWhere stories live. Discover now