16.

0 0 0
                                    

"Jadi, dia yang masak itu?" gumam Erin.

Kemudian, Erin mandi, sarapan, dan bersiap pergi bekerja. Ia juga melihat kakek Doko dan Puput di halaman depan rumah. Seperti biasa, ketiganya melambaikan tangan.

Siang harinya, Erin pulang. Puput yang sedang membuang sampai di tempat tampah depan rumah, terlihat heran saat melihat Erin.

"Erin!" panggil Puput dan langsung menghampiri Erin. "Kok pulangnya cepet?"

"Karena saya sakit. Jadi, bos nyuruh saya pulang, Kak."

Puput memang melihat Erin yang pucat, tampak lemas, dan lesu, serta sekeliling matanya sedikit hitam.

"Apa mau saya anter ke dokter?" tanya Puput terlihat khawatir.

Erin menggeleng. "Enggak usah, Kak. Tadi udah minum obat di tempat kerja dan di rumah juga ada stok obat. Ini mau istirahat aja."

"Yaudah kalau gitu. Nanti kalau ada apa-apa, ke rumah aja. Jangan malu atau sungkan," tutur Puput.

"Iya Kak, makasih."

Erin kini berbaring di ranjangnya. Satu tangannya memijat-mijat kepalanya. Berusaja meredakan rasa sakit di kepala. Dalam benaknya, Erin teringat akan mimpi yang ia alami beberapa hari terakhir.

Paras perempuan dalam mimpinya, terbayang dalam pikiran Erin hingga membuat dahinya berkerut. "Wajahnya kayak pernah lihat, tapi di mana."

Namun tiba-tiba, mata Erin membelalak dan tubuhnya terasa kaku saat teringat akan wajah gadis dalam foto keluarga Windi terdahulu. Perkataan Windi terlintas di kepala Erin.

'Ini adik dari neneknya Ara. Beliau udah meninggal.'

'Beliau meninggal diusia muda. Tante bahkan belum lahir waktu beliau meninggal.'

Erin segera duduk dab bergumam, "Apa jangan-jangan perempuan di mempiku itu adalah ... kerabatnya tante Windi yang meninggl muda?"

Sore hari di rumah kakek Doko, Jevan baru saja pulang. Dia menghampiri kakeknya yang duduk di kursi teras bersama Windi.

"Apa yang kamu bawa?" tanya kakek pada Jevan.

Jevan memberikan satu kantung tas kertas pada Puput. "Ini makanan, Kek. Untuk kita."

"Itu plasti satunya apa?" Mata kakek menatap satu plastik putih berwarna putih yang tidak tembus pandang.

"Oh, ini stok obat kita di rumah. Tadi mampir apotek sebentar. Sebenernya, kemarin mau belinya , tapi malah lembur dan akhirnya lupa beli," jelas Jevan.

Kakek tampak semangat seketika. "Ah, kebetulan kamu beli berbagai obat. Puput bilang, waktu dia buang sampah, Erin pulang dari kerja. Dia pulang cepet karena sakit."

"Coba kamu ke sana. Siapa tahu dia butuh obat yang kamu beli," lanjut kakek.

Akhirnya, Jevan mendatangi rumah Erin dengan membawa plastik beris berbagai obat yang baru saja ia beli.

Masih dengan lemas dan merasa tidak sehat, Erin keluar kamar setelah mendengar ketukan pintu disertai namanya yang disebut. Jika saja ia tak mendengar namanya, maka Erin tak akan repot-repot membuka pintu.

"Kak Jevan?" Melihat tamu tang datang, satu alis Erin sedikit naik.

"Saya denger, kamu lagi sakit," tutur Jevan sambil melihat wajah Erin yang memang terlihat pucat.

"Yah, begitulah," ucap Erin. "Ayo, silakan masuk, Kak."

Jevan pun masuk. Keduanya kini sudah duduk di kursi.

"Jadi, ada apa?" tanya Erin.

Jevan memberikan plastik obat pada Erin. "Ini, obat untuk kamu. Kakek yang minta saya ke sini."

"Obat?"

Jevan mengangguk sambil semakin menyodorkan plastik obat pada Erin, yang mau tak mau gadis itu terima.

"Makasih, Kak. Titip makasih juga untuk kakek." Jevan mengangguk.

"Yaudah kalau gitu, saya pulang dulu."

Jevan pun hendak berdiri. Namun, suara Erin menghentikannya.

"Kak!"

Jevan menatap Erin penuh tanya. "Ada apa?"

Erin tampak ragu, tetapi ia memilih untuk mengatakannya. "Untuk semalem, makasih banyak."

Jevan tertegun sesaat, lalu sedikit mengangguk dan segera berdiri dan hendak melangkah menuju pintu. Namun, Erin memanggilnya lagi sebelum ia melangkah.

"Kak!"

Jevan menatapnya. "Apa?"

Erin melirik pintu kamar depan. "Saya rasa, saya tahu siapa sosok perempuan yang ada di mimpi saya beberapa hari terakhir."

Warna Merah Darah [Tamat]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant