10.

1 0 1
                                    

Ara tersenyum. "Sama-sama."

Tiba-tiba, Hera datang dari luar rumah. Ia terkejut melihat Ara.

"Ara? Kamu di sini?"

Ara menoleh dan mengangguk kecil. "Iya. Bareng sama Kak Erin."

"Ibuk dari mana?" tanya Erin.

"Dari rumah ibu Ida, gulung tali plastik. Ini Ibuk pulang mau makan siang."

Di hari Minggu dan terkadang di malam hari, Hera memang bekerja menggulung tali rapia dari gulungan besar setebal ban mobil, menjadi gulungan kecil yang biasa ada di warung-warung.

"Yaudah, cepet makan, Buk. Ini udah lewat jam makan siang, lho," tutur Erin.

"Iya." Hera menatap Ara. "Ara, kamu udah makan belum? Kalau belum, ayok makan."

"Udah, kok. Ara udah makan," ucap Ara.

Setelah makan, Hera kembali ke rumah tetangga untuk lanjut bekerja. Meninggalkan anak-anak dan keponakannya di rumah.

"Kak Ara, Kak Erin, ayok foto!" ajak Kia yang memegang ponsel pemberian Ara.

Ara dan Erin mengangguk, lalu mendekat pada Kia, dan ketiganya berfoto-foto ria.

Erin kemudiam menoleh pada Kio dan sedikit cemberut, dan menariknya mendekat. "Sini, foto sama-sama."

Empat orang itu akhirnya foto bersama dan berpose berbagai gaya.

"Nanti kirim ke Kakak, ya," pinta Erin.

"Kirim ke Kakak juga," sahut Ara.

Kia mengangguk. "Iya, Kak."

Erin lalu merogoh sakunya dan mengambil lembar uang lima puluh ribu, lalu memberikannya pada Kio.

"Ini, untuk beli kartu perdana sama kuota."

Kio menerimanya. "Makasih, Kak."

Setelah berfoto ria, empat orang tersebut berbincang-bincang ringan. Membicarakan banyak hal. Mulai dari kegiatan di sekolah, teman-teman di kelas, anak tetangga, hingga ODGJ yang sering berkeliaran.

Tiba-tiba, Ara teringat akan pembicaraannya dengan Erin saat di jalan. Ia pun lekas bertanya, "Kio, Kia, sebentar lagi kalian masuk SMP. Apa udah ada rencana mau lanjut sekolah di mana?"

Keduanya tampa langsung antusias, tetapi segera berubah sedih, yang membuat Erin dan Ara tak mengerti.

"Ada apa?" tanya Ara penasaran.

"Aku dan Kaio pengen sekolah di sekolah Kak Ara waktu SMP. Tapi kata temen Aiya, sekolah di sana itu mahal. Jadi, mungkin Aiya dan Kaio mau cari sekolah yang lain aja," ungkap Kia yang diangguki Kio.

Waktu terus berlaku. Ketika sudah sore, Hera kembali karena Erin akan berangkat.

"Buk, Erin berangkat, ya," pamit Erin pada ibunya.

"Iya, hati-hati di jalan. Telfon ke rumah kalau udah sampe," ucap Hera.

Erin mengangguk, lalu mendekati kedua adiknya. "Kakak berangkat. Rajin-rajin belajar, jaga Ibuk dan jangan nakal, ya."

Keduanya mengangguk. Erin kemudian mengusap puncak kepala adik kembarnya itu bergantian. Kemudian, Erin menatap Ara.

"Kakak berangkat. Titip salam untuk orangtua kamu, ya," ucap Erin.

Ara mengangguk. "Iya, Kak. Hati-hati."

Akhirnya Erin berangkat. Saat matahari hampir tenggelam, Erin sampai di depan rumah.

Mata Erin menatap rumah tersebut dalam-dalam, hingga tatapannya beralih pada jendela kamar depan, yang sudah dua kali ia lihat gordennya tersibak sendiri. Kemudian, Erin memejamkan mata. Seketika, ia ingat keinginan adik kembarnya untuk memiliki ponsel dan bersekolah di tempat yang bagus dan terjamin pendidikannya. Namun, terhalang biaya. Saat ini, memang

Erin membuka mata, menatap rumah lagi dan mengembuskan napas panjang, lalu menunjukkan raut wajah yakin. Menggelengkan kepala pelan, Erin melangkah mendekati rumah. Ketika Erin masuk rumah, tanpa ia ketahui, gorden kamar depan tersibak.

Ketika malam hari, Erin makan malam dengan bekal yang ia bawa dari rumah. Setelah itu masuk kamar. Namun, baru saja menutup pintu, Erin mendengar suara gedoran pintu.

Erin seketika melotot lalu mengerutkan dahi dengan jantung berdetak cepat. Ketika suara gedoran kembali terdengar dengan suara yang lebih kencang, Erin merasa ini bukan halusinasinya. Melainkan memang benar-benar ada.

Memejamkan mata sesaat, Erin perlahan membuka pintu kamar. Namun, ia tak lagi mendengar suara gedoran. Erin kemudian berjalan ke arah depan. Ingin melihat pintu masuk. Kalau-kalau suara tadi berasal dari luar.

Namun, saat berjalan Erin dikejutkan oleh suara gedoran tepat di sampingnya. Sontak, ia menoleh dan tepat melihat pintu kamar depan dengan mata Erin membelalak. Kala suara tersebut semakin keras, Erin segera berlari ke kamar dan mengunci pintu.

Setelah itu mencari earphone dan ponsenya. Ia menyetel lagu rock dengan volume yang masih bisa ditahan telinganya, selama bisa menutupi suara gedoran pintu. Kemudian, Erin naik ke ranjang dan memakai selimut. Erin mencengkram erat selimut lalu memejamkam mata dan saat itu juga air matanya mengalir.
.
.
.
Tanggal publikasi :

Warna Merah Darah [Tamat]Where stories live. Discover now