6.

1 0 1
                                    

"Eh, Kak Puput." Erin mendongak lalu segera berdiri. "Ada apa, Kak?"

"Ini, kakek minta saya ngundang kamu untuk malem sama-sama."

Puput melihat ke arah rumah kakek Doko. Erin pun mengikuti arah pandangnya. Dapat ia lihat, kakek Doko sedang berdiri dibantu oleh tongkatnya dengan pandangan mengarah pada kami.

"Gimana? Mau?" tanya Puput.

Erin mengangguk, dan itu membuat Puput tersenyum. "Iya, Kak."

Setelah Puput kembali, Erin segera masuk rumah dan pergi ke dapur. Kemudian mengambil mangkuk berisi sayur dan perkedel jagung, lalu ia bawa ke rumah kakek Doko.

Kakek Doko menyambut Erin dengan ramah, lalu mengajaknya masuk ke rumah.

"Kamu ini repot-repot, kan Kakek yang ngundang kamu ke sini. Kok malah kamu yang bawa makanan."

Erin tersenyum sopan. "Sayang kalau nggak dimakan, Kek. Siapa tau Kakek mau nyicipin masakan saya."

Puput lalu mengambil alih yang Erin bawa dan segera ke dapur. Setelah itu, mereka bertiga duduk di kursi dan mengobrol ringan sembari menunggu jam makan malam, karena matahari belum tenggelam dan bahkan langit juga belum menggelap.

Mata Erim menatap sekeliling ruangan, memperhatikan dinding yang terdapat banyak lukisan.

"Kakek punya banyak lukisan indah," ucap Erin.

Kakek terkekeh pelan. "Hasil masa muda."

Sontak, Erin menatapnya terkejut. "In-ini semua Kakek yang ngelukis?"

Kakek Doko berdiri dan melihat lukisan-lukisannya. "Ya," jawabnya. "Semua lukisan ini, hasil karya Kakek sendiri."

"Hebat," kagum Erin.

Gadis itu kembali melihat lukisan, hingga matanya terpaku pada satu lukisan di ujung. "Cantik," tutur Erin pelan.

Tanpa sadar, Erin mendekati karya seni yang menyita perhatian tersebut dan memperhatikannya baik-baik. "Ini, lukisan indah dengan objek perempuan cantik dan latar tempat yang cocok. Sangat menawan."

Terdengar, langkah kaki mendekat di telinga Erin. "Kamu suka lukisan?"

Masih menatap penuh kekaguman pada lukisan seorang gadis cantik bergaun putih dan berambut putih panjang, yang duduk di atas batu besar sebuah taman bunga sambil memegang setangkai mawar merah, Erin menjawab, "Suka lihatnya, Kek."

"Saya juga suka sama lukisan itu, Rin. Bagus. Kelihatan indah dan elegan. Warna-warna di lukisannya juga nyaman di mata," sahut Puput yang kini ikut berdiri menyusul kakek.

"Iya Kak, setuju sama ucapan Kakak," ucap Erin sambil mengangguk dan menoleh pada kak Puput.

"Apa Kakek masih ngelukis sampai sekarang?" tanya Erin.

Kakek Doko menggeleng. "Enggak. Sudah hampir dua puluh tahun saya berenti ngelukis. Salah satu alasannya adalah usia, yang mempengaruhi kemampuan fisik."

"Kemarin, Kakek bahkan minta saya beresin barang-barangnya untuk dibuang," sahut Puput sambil menunjuk sebuah kardus. "Tuh, liat. Kardus itu isinya alat gambar dan lukis. Saya belum sempet buang, mungkin besok pagi saya buangnya."

"Eh? Mau dibuang?" tanya Erin tak percaya.

Puput mengangguk. "Iya. Kata Kakek udah terlalu lama dianggurin. Jadi lebih baik dibuang daripada jadi sampah dan tempat sarang serangga." Puput menghela napas. "Padahal masih bagus dan layak pakai."

Mata Erin tertuju pada kardus di pojok ruangan. Sejujurnya, dia cukup tertarik.

"Kamu mau barang-barang itu?" tanya Kakek pada Erin yang membuat kedua mata gadis itu terarah padanya.

Warna Merah Darah [Tamat]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz