13.

0 0 0
                                    

"Dia nyata, tetapi sudah tiada."

Mata Erin membelalak. Sungguh tak menduga atas jawaban kakek. Seketika, rasa bersalah menghampiri Erin karena membuat kakek teringat akan masalalu yang menyedihkan.

"Maaf," tutur Erin pelan dengan raut wajah menyesal.

Kakek Doko menatapnya dengan senyum tipis. "Enggak papa. Itu juga sudah lama sekali."

Seiring waktu berlalu, Jevan akhirnya pulang dan setelah waktu makan malam, keempatnya makan bersama.

Ketika makan, sesekali Jevan melirik Erin dengan dahi sedikit berkerut, hingga ia memilih bertanya.

"Apa kamu sakit?"

Seketika tiga orang lainnya terdiam. Mereka melihat Jevan dan ternyata lelaki itu menatap Erin. Di sisi lain, Erin menatap Jevan dengan mata sedikit membesar.

Jevan berdeham pelan dan berkata, "Saya tanya gitu, karena kamu keliatan pucat."

"Kakek juga tanya tadi, tapi dua bilang kalau dia baik-baik aja," sahut kakek Doko setelah minum.

"Saya juga tanya waktu ngundang makan malam, dan jawabannya sama," timpal Puput dengan mulut masih terdapat sedikit makanan.

Erin mengunyah cepat, menelan, lal menggeleng pelan dan menatap ketiganya bergantian. "Saya masih merasa baik-baik aja. Terima kasih atas kepedulian kalian semua."

"Kamu jangan sungkan-sungkan. Dateng ke sini kalau ada apa-apa. Kalau jenuh di rumah, maen ke rumah Kakek. Kan ada Puput, kalian bisa ngobrol," tukak Kakek Doko.

Erin menatap kakek Doko penuh harus. "Iya, terima kasih banyak, Kek."

Setelah makan malam dan mengobrol sebentar, Erin pamit pulang. Kakek pun meminta Jevan untuk menemani Erin pulang sambil membawa plastik berisi makanan yang ia beli dalam perjalanan pulang setelah bekerja.

Kini, Erin dam Jevan telah ada di dalam rumah. Keduanya berdiri di ruang tamu. Erin sedang menatap heran Jevan yang menatap fokus ke satu arah. Mengikuti arah pandangnya, Erin terteguh. Pemuda itu sedang menatap pintu kamar depan.

Seketika, ingatan tentang pertama kali Jevan mengantarnya pulang, pemuda itu juga melakukan hal yang sama. Menatap dalam-dalam pintu kamar depan. Rasa penasaran menghampiri Erin.

"Kak," panggilnya. Namun, tak ada respons sama sekali. Jevan seperti tidak mendengarnya.

"Kak." Erin memanggil sedikit lebih tinggi, tetapi tetap tak ada sahutan.

Tangan Erin bergerak ke kiri dan ke kanan di depam wajah Jevan, "Kak Jevan!"

Jevan sedikit tersentak lalu menatap Erin dengan penuh tanya.

"Lihat apa?" tanya Erin.

Jevan mengabaikan pertanyaan Erin dan justru balik bertanya, "Apa kamu mengalami hal aneh selama tinggal di rumah ini?"

Erin tertegun seketika. Perlahan, ia menatap pintu kamar depan. "Kenapa nanya gitu?"

"Saya merasa kalau ada yang aneh sama kamar itu." Jevan menunjuk pintu yang sedang Erin tatap.

Jevan menatap Erin. "Jadi jawabnnya?"

Erin pun menjawab pelan, "Iya."

"Setiap hari," lanjutnya.

Jevan terdiam mendengarnya.

Erin dibuat tersentak oleh sebuah tangan yang tiba-tiba memegang pundaknya. Ia lantas menatap si pemilik tangan tersebut.

"Seperti yang kakek bilang, jangan sungkan atau malu untuk dateng ke rumah kalau ada apa-apa. Saya memang kerja, tapi ada Puput dan kakek. Mereka bisa nemenin dan ngobrol sama kamu meskipun cuma sebenar."

Setelah Jevan kembali, Erin segera masuk kamar dan pergi tidur. Saat tidur, Erin mengalami hal yang sama. Memimpikan seorang wanita yang merangkak menuju puntu dengan banyak darah tergenang di lantai.

Erin pun terbangun dari tidur dan mimpinya dengan keringat kercucuran dan napas tersenggal-senggal, pun matanya menatap tak tentu arah disertai binar kebingungan dan ketakutan.

Setelah beberapa saat, Erin merasa sedikit tenang. Namun, ternyata itu hanya sesaat. Sebab jantungnya langsung dibuat berdetak cepat, oleh sebuah suara yang tiba-tiba memasuki indra pendengarannya.

Itu adalah suara tangisan bayi!

Suara itu terdengar begitu dekat, begitu jelas, dan terus berulang-ulang. Mata Erin yang sempat tenang pun langsung membelalak dan dengam cepat memproses kristal cair. Tepat saat ia ingat jika rumah yang ia tempati berada di paling ujung, dan rumah di sampingnya sudah kosong sejak sebulan yang lalu, Erin tahu karena Puput yang bercerita, rumah selanjutnya sang penghuni tak memiliki bayi.

Bahkan jika suara tersebut milih bayi tetangga lainnya, Erin yakin suaranya tak akan sekeras dan sejelas ini. Sebab yang Erin denagr sekarang, suara tersebut seperti berasal dari dalam rumah.

Erin memejamkan mata dan saat itu juga air matanya mengalir. Kedua tangannya pun menutup dua telinganya. Berusaha memblokir suara tangisan bayi yang terus terdengar.

Bak mengingat sesuatu, Erin segera membuka mata dan menoleh ke meja nakas. Setitik rasa senang ia rasakan saat melihat dia benda yang ia harapkan ada di sana. Smartphone dan earphone. Secepat yang ia bisa, Erin mengambil dua benda tersebut dan segera menggunakannya. Selanjutnya, Erin memaksakan diri untuk tidur dalam posisi duduk bersandar pada kepala ranjang.

Esok harinya, Erin pergi bekerja dengan kondisi lemas dan lesu, pun wajahnya terlihat pucat. Di rumah depan, kakek Doko dan Puput yang melihat Erin tampak khawatir. Keduanya juga sempat melambaikan tangan pada Erin.

"Put, lihat Erin. Dia keliathan lemes dan lesu, ya."

Puput mengangguk. "Iya Kek, mana masih aja berangkat kerja."

Keduanya terus melihat sosok Erin yang berjalan pelan sambil menunduk. Terlihat sesekali langkahnya tampak sedikit goyah.

Sore hari setelah mandi, kakek Doko dan Puput duduk di kursi halaman rumah sambil menikmati teh dan sepiring camilan di atas meja bundar. Tiba-tiba, ponsel kakek yang ada pada Puput berbunyi.

Puput membaca nama sang penelpon lalu memberikannya pada kakek sambil berkata, "Mas Jevan nelfon, Kek."

Kakek menerima ponsel tersebut. "Halo Jev, ada apa?"

"Oh gitu, yaudah hati-hati pulangnya," tutur kakek setelah beberapa saat.

"Ya, kamu juga."

Kakek kembali memberikan ponselnya pada Puput. "Jevan pulang malem, Put. Dia dan beberapa temen kantornya lembur."

"Hmm, gitu." Puput hanya mengangguk-angguk mengerti.

Tak lama, mereka melihat Erin pulang. Keduanya melambaikan tangan pada gadis itu, dan dia balas melambai.

"Kayaknya dia masih lemah badannya," tutur Puput.

"Put," panggip kakek membuat Puput menatapnya. "Roti keju dan coklat yang kamu beli tadi pagi, kasih aja ke Erin, sekalian lihat keadaannya. Jevan kan pulangnya malem, dia bisa beli makanan di luar."

Puput mengangguk. "Iya, Kek."

Malam harinya, Erin pergi ke dapur. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan roti pemberian Puput. Setelah itu merebus air dan membuat teh hangat. Sore ini, ia tidak memasak. Tubuhny terasa lemas, lemah, dan tidak nyaman. Roti dan segelas teh, adalah hidangan makan malam Erin. Sejak pingsan dan tertidur di lantai malam itu, ditambah tidur malamnya yang selalu terganggu, membuat istirahatnya tidak berkualitas.

Setelah makan malam, Erin masuk kamar dan berbaring di ranjang usai meminum obat masuk angin sasetan. Berharap ketika bangun besok, ia akan kembali sehat bugar seperti sediakala.

Warna Merah Darah [Tamat]Where stories live. Discover now