Bab 2

55 6 0
                                    

Gejolak Rasa

Tidak ada yang berubah dari diri Attar. Laki-laki itu tetap dingin seperti biasanya terutama sejak ia berucap yang membuat Fatin terluka. Sebenarnya Attar bukanlah laki-laki dingin dan bermulut tajam. Attar yang Fatin kenal humble, humoris. Mengapa gegara Fatin menyukainya Attar jadi berubah. Salahkah perasaan itu?

Fatin mengikuti pertemuan pagi ini tanpa banyak bicara. Sebenarnya ia tidak datang, tidak masalah. Karena tugasnya sudah jelas, hanya membuat Royal Wedding Cake yang ukurannya super besar. Kata Mbak Lily, ini permintaan Inka, calon pengantin perempuan.

Namun, Sarah memintanya datang sekaligus memesan beberapa box cake yang lumayan banyak. Tidak mungkin Fatin memilih anak buahnya untuk mengantar pesanan  Sarah, nanti dikira Fatin menghindari Attar. Padahal iya, ia belum siap bertemu laki-laki yang berprofesi sebagai pilot di maskapai penerbangan asing itu.

Berita Attar mau menikah, sedikit membuatnya shock. Ini bukan berarti Fatin menyukainya. Ia masih meraba-raba, apakah rasa cinta itu masih ada. Jika masih, Fatin ingin membuangnya jauh-jauh, tidak baik menyimpan cinta pada laki-laki yang selalu memesona seperti Attar.

Akhirnya pertemuan itu pun selesai. Fatin bermaksud mau pulang karena pekerjaannya menunggu. Namun, Attar menahannya. Katanya ia pengin ngobrol sebentar sebagai teman lama. Bukankah tadi mereka sudah mengobrol meski obrolan basa-basi seperti apa kabar dan sebagainya.

“Kata mami, sekarang sudah sukses, ya?” Attar membuka percakapan ketika mereka sudah memisahkan diri dari Sarah dan Mbak Lily. Sedang Inka sendiri, begitu acara selesai langsung pergi.

Fatin sedikit heran dengan sikap Attar, mengapa tidak mengantar calon istrinya malah mau ngobrol dengannya. “Mami terlalu melebihkan. Masih belum besar. Ini tidak apa-apa kita ngobrol?” Fatin sedikit ragu meneruskan obrolan ini mengingat tatapan Attar tidak berhenti menghujamnya.

“Memang kenapa? Ada yang salah?”

‘Ada. Sikapmu yang terlalu dingin, menyesakkan hatiku,’ ucap Fatin dalam hati. Mana berani ia ngomong demikian. “Calon istrimu tidak cemburu. Maksudnya melihat kita berduaan.”

“Inka orang yang berpikiran terbuka. Dia tahu kita teman lama, kan ini wajar. Nggak ada yang aneh.”

“Iya, sih,” Fatin meringis. Selanjutnya yang mereka obrolkan adalah hal-hal yang umum, kabar teman-teman hingga sebuah pertanyaan dari Attar yang membuat Fatin bungkam seribu bahasa. Ia bingung menjawabnya. Sebuah pertanyaan yang sangat dihindarinya ‘kapan menikah.’

“Pertanyaanku bikin nggak nyaman, ya?” tukas Attar begitu menyadari Fatin terlihat bingung dengan pertanyaannya. “Maaf, ya, aku ….”

“Bukan nggak nyaman,” Fatin memotong perkataan Attar. “Bingung saja jawabnya. Belum ketemu yang cocok.” Sebuah jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaan Attar.

“Begitukah?” Attar menautkan alisnya. “Aku nggak percaya, nggak ada laki-laki yang nggak suka sama kamu. Mereka matanya buta kali, ya?”

Fatin menggedikkan bahu. “Alloh sedang memberiku kesempatan untuk membantu orang lain, sebelum nantinya mengurus keluarga kecilku,” kata Fatin sok bijak.

“Dari dulu selalu pintar berfilsafat.” Attar tersenyum. Senyuman pertama sejak mereka bertemu.

“Penumpang kamu bisa kena diabet, lo?”

“Kok bisa?”

“Senyuman Pak Pilot banyak mengandung gula.”

Untuk pertama kalinya Fatin berhasil membuat Attar tertawa sejak ucapan menyakitkan itu.

***

Pertemuan pertama yang menyenangkan. Fatin tidak mengira jika ‘perang dingin yang kasat mata, dirinya dengan Attar telah mencair. Laki-laki itu kembali seperti biasa. Ia bahagia sekali hari ini. Kebahagiannya bukan milik Fatin sendiri. AdabSarah yang juga selalu mengumbar senyum melihat ia dan Attar akrab kembali. Sarah bahkan meminta Attar untuk mengantarnya pulang. Jelas Fatin menolaknya.

Ada perasaan Inka yang perlu dijaga. Fatin juga perempuan, pasti akan cemburu melihat calon suaminya mengantar perempuan lain. Akhirnya bisa meyakinkan Mami Sarah bahwa ia terbiasa ke mana-mana sendiri tanpa diantar.

Suasana hati Fatin yang sedang bahagia, tidak luput dari perhatian anak buahnya. Mereka merasa bosnya berbeda. Sila juga merasakan hal yang sama. Perempuan yang masih cantik di kepala 5 itu sedikit heran dengan tingkah anak sulungnya.

“Mama bagi dong bahagianya,” goda  Sila. Fatin sedikit tertutup. Jikalau tidak diminta bercerita maka ia akan menyimpan masalahnya sendiri. Beda dengan Rania dan Raisa.

Fatin menoleh. Ia yang sedang asyik menggodog Royal Wedding Cake-nya Attar menghentikan pekerjaannya. “Bagi apa, sih, Ma?”

“Kakak sedang bahagia, ya? Ketemu cowok? Kenalin ke Mama, dong?”

“Enak saja minta dikenalin trus Pipi mau dikemanain,” protes Rafif yang ikut nimbrung pembicaraan ibu dan anak itu. Diciumnya pipi istrinya sekilas.

“Maksudnya dikenalin sebagai menantu. Pipi nggak usah cembokur gitu deh. Pokoknya Mama sudah klepek-klepek.” Satu ciuman mendarat lagi di pipi Mama Sila.

“Mama dan pipi bikin Fatin pengin saja.”

“Makanya kenalin dia, Kak. Siapa sih? Mama kenal atau pernah bertemu dengannya?” selidik Mama Sila memborbadir Fatin.

“Ya ampun, Ma, Fatin belum punya calon.” Lalu Fatin bercerita tentang Attar, perubahan lak-laki itu dan rencananya mau menikah.

“Serius Attar mau menikah? Kok tidak sama Kakak, sih! Kan Mama dan Maminya dulu inginnya begitu. Sayang kalian belum jodoh.”

‘Hah! Mama dan Mami Sarah punya keinginan menjodohkan mereka. Sekarang kenapa tidak jadi?’

“Belum jodoh nggak usah dipaksain, Mama Fatin sayang,” gombal Pipi Rafif yang siapa pun mendengarnya serasa mau muntah, tetapi inilah yang terjadi setiap hari. kemesraan mereka adalah hal yang wajar  bagi anak-anaknya.

“Yang mau maksain  juga siapa, Pi? Cuma sayang aja, kan? Dulu mereka dekat, mama dan Mbak Sarah juga.” Sila sedikit menyayangkan, tetapi mau bagaimana lagi. Attar bukan jodoh Fatin. “Nomer Mbak Sarah kirim ke Mama, ya?” pinta  Sila meninggalkan ruangan Fatin, diikuti oleh Rafif. Setelah sejajar, tangan  Rafif merengkuh Sila. Selalu seperti itu, romantis.

***

Tanpa terasa sebulan lagi pernikahan Attar dan Inka. Fatin makin sibuk. Ternayata Sarah memesan ratusan bolu batik mini untuk souvenir pas acara pengajian. Tidak itu saja, kue-kue untuk acara di rumah pesan semua ke Fatin. Ia agak kewalahan menerima orderan-orderan Sarah
Namun, demi menjunjung profesionalisme Fatin dengan ikhlas menjalaninya. Bagaimana hubungannya dengan Attar. Tentu saja bertambah baik, just friend. Dua kali Fatin dan Attar menghadiri kumpul bareng teman SMA. Banyak teman SMA yang mengira mereka berdua pacaran, tetapi setelah Attar membagi undangan teman-teman abru percaya

“Harusnya nama kamu yang di sini,” bisik Luna di tengah-tengah acara sore itu.

“Iya harusnya kamu,” sahut Tria.

“Hush, kalian ini. Jelas-jelas di sini tertera nama Inka, bukan Fatin.” Ia menunjuk undangan cantik berwarna dasar gold.

“Rebut, dong! Kamu nggak lihat tatapan Attar ke arah kamu terus apalagi tadi pas kamu sedang mengobrol dengan Diaz. Matanya merah menyala, pertanda cemburu,” terang Luna membuat mata Fatin terbelalak.

‘Benarkah Attar bersikap demikian?’

Fatin tidak mau ge er menyimpulkan keterangan Luna sendiri. Namun, saat tanpa sengaja pandangannya dan Attar bersirobok pada satu titik yang sama, Fatin baru ngeh, mungkin saja Attar menyukainya.

Bersambung ....

Bukan Cinta yang SalahWhere stories live. Discover now