2. I'am Stefanny not Fanny

Start from the beginning
                                    

"Ya Gusti! Paringi cah ayu niki sabar, jembarake hatinya ya Allah! Nduk ibu tau ini berat tapi ikhlaskan nduk! Ibu akan bantu kamu sebisanya." Ibu itu tergugu sementara Fenny hanya bisa melongo sampai matanya menangkap pantulan dirinya di kaca jendela samping loket. Sontak Fanny langsung berdiri dan berjalan mendekat untuk memastikan bayangannya.

Tubuh Fanny hampir limbung jika tidak ditahan ibu paruh baya tadi. Tidak mungkin! Bagaimana mungkin wajah cantiknya yang seringkali muncul menghiasi layar televisi berganti menjadi wajah wanita asing yang tidak dikenalnya?! Impossible!

"Bu, tolong antar saya ke toilet. Saya mau cuci muka." Fanny butuh kepastian maka dari itu dia butuh cermin yang jernih, bukan kaca jendela yang buram. Siapa tau kaca jendela didepannya ini menipu, dan setau nya di toilet pasti ada cermin.

Si ibu paruh baya hanya bisa mengangguk dengan wajah sedih lalu menuntun Fanny ke arah toilet setelah mengambil barang bawaan mereka agar tidak diambil orang.

Fanny menepuk nepuk wajahnya di depan cermin yang jernih, dicubitnya pipi tirus itu dan dia merasakan sakit. Itu artinya ini nyata dan bukan mimpi apalagi ilusi. Ini memang benar bukan dirinya, maksudnya jiwanya entah bagaimana caranya memasuki tubuh wanita asing yang saat ini Fanny tempati raganya.

Apa ini yang namanya transmigrasi? Seperti yang ada di novel novel kesukaan Bianca? Tak pernah terlintas sedikitpun di otak Fanny bahwa dia akan mengalami transmigrasi. Lalu kalaupun benar, ini novel apa dan dia menjadi karakter apa? Kenapa tidak ada spoiler sedikitpun yang diterimanya. Lalu jika jiwanya disini bagaimana dengan raga aslinya? Sudah tertimbun tanah kah?

Ah memikirkannya membuat kepala Fanny pusing, sepertinya raga wanita yang sedang Fanny tempati tubuhnya kurang tidur dan kelelahan. Untuk sekarang Fanny hanya butuh istirahat agar nanti tubuhnya kembali fresh dan otaknya bisa berfikir jernih.

Dan yang bisa Fanny mintai bantuan di dunia antah berantah ini hanyalah ibu paruh baya tadi, mengingat tubuh yang ditempati Fanny ini diusir mertuanya dan Fanny pun tak tau dimana keluarga si pemilik tubuh ini. Maka dari itu hanya si ibu paruh baya tadi yang bisa menolongnya, lagipula Fanny juga bisa melihat ketulusan si ibu ini waktu menolongnya tadi.

"Bu, kata ibu tadi ibu mau menolong saya kan? Saya lelah bu, saya ingin istirahat tapi saya tidak tau mau pulang kemana, tolong saya bu!" pinta Fanny dengan wajah memelas.

*****

Fanny membongkar seluruh isi tas milik si pemilik tubuh. Saat ini dia sedang berada di sebuah kamar tepatnya di rumah milik bu Rani, wanita paruh baya yang menolongnya tadi. Bu Rani memperkenalkan diri lagi sewaktu mereka diperjalanan menuju rumah beliau. Perjalanan ke rumah bu Rani dari terminal bus ke desa beliau memang harus menggunakan angkot dulu lalu baru menaiki ojek.

Bu Rani tinggal sendiri di desa, suaminya sudah lama meninggal dan Satria, anak lelaki satu-satunya yang beliau miliki bekerja di Jakarta. Satria sudah berulang kali mengajak Bu Rani untuk tinggal bersama di kota, namun beliau sudah terlalu nyaman tinggal di desa dan memutuskan untuk tinggal sendiri di desa karena sewaktu tinggal di kota bu Rani kerap merasa kesepian saat di tinggal sang anak pergi bekerja, lagipula di desa masih ada kerabat dan sanak saudara bu Rani yang sesekali menemani beliau.

Kalau diingat lagi pertemuan si pemilik ini tubuh dengan bu Rani di jalan termasuk sebuah keberuntungan yang juga menguntungkan Fanny. Jarang sekali ada orang yang tulus menolong di zaman sekarang tanpa ada maksud tertentu.

Awalnya si pemilik tubuh bertemu dengan Bu Rani sewaktu di bus, mereka duduk di kursi yang sama. Si pemilik tubuh yang sedih dengan tatapan kosong, pun dengan isakan dalam diam sukses mencuri perhatian bu Rani. Entah bagaimana ceritanya si pemilik tubuh begitu mudah percaya dan menceritakan permasalahan hidupnya pada bu Rani sehingga membuat bu Rani iba dan mengajak si pemilik tubuh untuk tinggal sementara di rumahnya.

Kebetulan saat itu bu Rani juga akan pulang ke desa setelah menginap beberapa hari di apartment Satria di Jakarta. Putranya itu sedang menemani bosnya dinas ke luar negeri, bu Rani yang tak sabar ingin segera pulang memutuskan pulang sendiri setelah menelfon dan membujuk Satria.

Fanny menemukan sebuah buku diary usang setelah mengacak acak beberapa helai pakaian milik si pemilik tubuh. Baru saja dia hendak membuka dan membaca isi diary itu, namun suara ketukan pintu menghentikan gerakannya. Menaruh kembali buku diary itu di atas ranjang, Fanny bergegas membuka pintu.

"Ada apa bu?" tanya Fanny ketika wajah bu Rani muncul setelah dia membuka pintu.

"Ibu sudah masak makan malam, ayo kita makan sama-sama nduk. Mumpung masih hangat, lagipula kamu pasti belum makan dari tadi siang." ajak bu Rani membuat Fanny ingat sewaktu perjalanan ke rumah beliau memang Fanny merasa lapar. Namun karena memikirkan segala kemungkinan membuat rasa lapar itu terlupakan dan tidak terasa. Ah sepertinya Fanny memang harus mengisi perutnya, lagipula masih ada waktu untuk membaca diary itu dan menuntaskan rasa penasarannya.

*****

Tbc

Bukan Sembarang JandaWhere stories live. Discover now