Bab 2- Bagai Manusia Goa yang Melihat Cahaya

2 0 0
                                    

Jadi ceritanya, kami berempat mau uji nyali buat mengisi kegabutan malam Minggu sekaligus merayakan kejombloan Rehan setelah ditinggal selingkuh oleh mantannya. Haha kasihan.

Pukul 6.30 malam kami langsung berangkat menuju TKP yang ada di pinggiran Kota K. Danu yang mendapat info dari sepupunya bahwa lokasi satu ini sering banget terjadi hal-hal mistis langsung saja mencetuskan ide gila ini saat grup chat kami dipenuhi ungkapan gundah gulana milik Rehan. Aku sudah melihat-lihat gedungnya di Google Earth, dan memang cukup seram. Gedung perkantoran yang terbengkalai dengan beberapa kaca lobi yang pecah dan rumput liar yang memenuhi halaman terbukanya pasti akan lebih suram lagi ketika malam tiba dan tanpa cahaya penerang. Katanya sih, gedung ini udah disita karena dulu pemiliknya terjerat kasus korupsi, belum lagi mereka nggak memperlakukan karyawannya dengan baik dan permasalahan internal lainnya, sampai akhirnya demo terjadi dan massa merusak gedung itu. Pemiliknya yang sudah merasa kacau justru bunuh diri terjun dari atap gedung setelah demo terjadi. Gila nggak tuh.

Kami berboncengan motor menempuh perjalanan selama satu jam dari bengkel Rehan. Langsung saja kami melakukan tugas masing-masing, aku tanpa tugas (hehe), Rehan kamera, Danu dan Boni menyiapkan perlengkapan kami termasuk senter dan hp kentang yang nggak bisa internetan tapi sinyal selalu full. Katanya jaga-jaga kalau ada apa-apa dan sinyal disabotase memedi.

"Gue udah merinding duluan asem! " Boni yang memakai jaket putih tebal menggosok-gosokkan telapak tangannya untuk mendapatkan kehangatan lebih.

Aku melihat jam tanganku, pukul 9 malam. Huft.

"Ingat, jangan berpencar. Jangan panik, kita berempat," kataku lalu dihadiahi anggukkan serius dari ketiga temanku yang sepertinya penakut semua.

Kami menyusuri gang gelap tanpa rumah dengan senter masing-masing. Boni dan Rehan di depan, sedangkan aku dan Danu di belakang. Gedung sudah nampak. Di seberang gedung ada lahan kosong sedangkan sekitar 100 meter di depan, lampu temaram menerangi jalanan dan terlihat rumah warga pertama.

"Gelap banget. Ini pak RT nggak takut jadi tempat kriminal ya? Kan bisa dikasih lampu satu atau dua pakai dana desa," Danu berkomentar nggak penting. Tanda kalau jiwa penakutnya adalah yang paling parah di antara kami berempat.

"Yakin nih kita masuk?" Kata Boni, Rehan mengarahkan kameranya ke wajahnya lalu memberikan anggukkan kecil.

"Bismillah" bisik Rehan pelan.

Uji nyali kami, dimulai. Kami memasuki pekarangan gedung, nampak kaca-kaca bagian depan gedung pecah dan bisa dimasuki oleh siapa pun dari luar. Cukup terkejut karena overall bangunan masih bersih tanpa coretan-coretan tangan anak over kreatif. Boni masuk duluan diikuti Rehan dan Danu, sedangkan aku yang terakhir.

Begitu kami menjejakkan kaki ruangan yang nampak seperti lobi, udara pengap masuk ke paru-paru. Jantungku berdegup kencang dan desiran perasaan gelisah mulai terasa. Aku mengarahkan senterku ke seluruh arah, begitu juga teman-teman lain.

"Kami sudah di dalam guys, " kata Rehan sambil mengedarkan kameranya ke sekeliling.

"Masuk ke dalem?" Tanyaku. Mereka mengangguk.

Di depan ada lift dan di samping kiri ada ruangan berkaca yang aku tidak tahu fungsinya apa, sedangkan di samping kanannya lorong tangga darurat. Kami memutuskan untuk memeriksa ruangan di sebelah kiri. Meja, lemari, kursi-kursi terbengkalai. Ada lembaran kertas yang terjatuh di lantai dan udara di dalamnya sangat pengap dan panas.

"Kami nggak nyuri ya guys," kata Rehan memecah keheningan.

Aku dan Doni melihat lihat isi ruangan tanpa memindahkan satu barang pun. Kami keluar tak lama kemudian dan kembali berhenti di tengah-tengah lobi.

Come To You [BL]Where stories live. Discover now