1. Rumah Terbengkalai

25 6 0
                                    

Hela napas panjang Erin lakukan kala matanya, menatap sebuah rumah terbengkalai calon tempat tinggalnya selama bekerja nanti.

"Tenang, Om bantu bersihin rumahnya," tutur pria bergaya rambut cepak bernama Anton di sampingnya. Dia paman Erin. Adik kandung ibunya.

"Apa kamu tau rumah ini punya siapa?"

Erin masih berdiri diam memperhatikan rumah itu dan sekelilingnya. Gaya rumah tempo dulu yang khas, dinding bercat pudar mengelupas, jendela kaca model lama yang berdebu, dan halaman berhiaskan rumput-rumput tinggi, adalah pemandangan pertama hunian tersebut. Tak lupa, sebuah pohon rindang disertai ayunan tua dengan salah satu talinya telah putus, menjadi pelengkapnya.

"Kata ibuk, rumah ini punya neneknya tante Windi," jawab Erin menyebut nama istrinya.

Anton mengangguk. "Iya, itu bener. Rumah ini memang tua, tapi masih kokoh bangunannya. Tiga hari lalu Om periksa ke sini untuk mastiin. Air dan listrik pun masih berfungsi. Om juga udah ganti beberapa lampu yang rusak dan siapin kompor lengkap sama tabung gasnya."

"Ayok masuk," ajak Anton sembari berjalan ke pekarangan rumah dengan membawa tas milik Erin, dan kantung plastik berisi air minum juga bekal makan siang.

Di belakangnya, Erin menatap sekeliling tampilan rumah sekali lagi, dan tak sengaja melihat gorden jendela kamar yang tiba-tiba tersibak lalu terlihat sekelebat bayangan putih. Seketika, matanya membelalak.

"Erin! Ayo masuk!" seru Anton. Dia sudah berada di depan pintu. "Kamu ngapain berdiri di situ terus?"

Erin tersentak lalu berseru, "Iya, Om!"

Sebelum melangkah, Erin menoleh ke jendela tadi. Namun tak ada apa-apa. Ia menggelengkan kepala pelan lalu menghela napas dan segera menyusul Anton, dengan tas dipunggung dan satu tangan menyeret koper.

Erin dan paman Anton duduk di kursi kayu setelah mereka lap menggunakan sapu tangan, sebab debu yang begitu tebal. Keduanya minum air dari botol di plastik dan beristirahat sesaat guna mengumpulkan tenaga.

"Udah beberapa generasi sejak rumah ini dibangun. Kenapa masih terlihat kokoh? furniture di sini juga nggak terlihat berasal dari puluhan tahun yang lalu," ucap Erin sambil melihat sekeliling ruang tamu.

Anton melirik Erin sesaat lalu berkata, "Karena rumah ini udah beberapa kali direnovasi tanpa merubah bentuk aslinya, dan furniture udah diganti."

"Terakhir ditempati tiga tahun lalu, sama adik perempuan dari tante kamu selama tiga bulan, sebelum akhirnya pindah ke luar negeri ikut suaminya yang WNA," lanjut Anton.

"Karena itu, masih ada sapu, alat pel, dan kemoceng untuk bersih-bersih."

Erin melihat sekitar. "Di mana, Om? nggak ada di sini."

"Ada di dapur. Om lihat waktu ngecek ke sini," sahutnya lalu segera berdiri. "Yaudah, Om ambil dulu."

Tak lama kemudian, saat Erin sedang berdiri di dekat jendela yang bingkai dan kacanya memiliki banyak debu, Anton datang. "Rin!"

Erin menoleh. "Huh?"

"Nih lihat, masih layak pakai, 'kan? Di lemari kaca kecil di dapur juga Om lihat ada beberapa lap bersih." Anton memegang tiga benda yang tadi dia sebutkan.

"Wah, syukurlah. Enggak harus beli, deh." Erin tersenyum senang.

Anton menyandarkan benda-benda tersebut ke dinding. "Sekarang kita keluarin barang-barang kamu dulu. Terus meja, kursi, lemari kecil, dan yang lainnya. Setelah itu baru disapu dan dipel lantainya, dan kaca juga harus dilap. Kalau ruang depan ini udah, kita lanjut ke ruang tengah, dapur, dan kamar yang kamu pilih."

Warna Merah Darah [Tamat]Where stories live. Discover now