Neophyte

6 0 0
                                    

Sebuah kedai kopi minimalis yang terletak tidak jauh dari pusat kota, menyuguhkan nuansa klasik ala vintage. Deretan bangku coklat tersusun rapi lengkap dengan meja panjang menghadap jendela yang mempertontonkan hiruk-pikuk kehidupan di jalan raya. Lima buah meja persegi yang dikelilingi empat kursi di setiap meja juga ikut mengisi kekosongan ruang kedai kopi. Dinding abu-abu yang dihiasi beberapa lukisan abstrak dan pajangan furniture kuno yang menambah kesan vintage. Kedai kopi yang tidak hanya menyediakan menu kopi saja tetapi juga menyediakan berbagai koleksi buku karya sastrawan ternama Indonesia. Di setiap pojoknya terdapat rak buku berisi novel dan majalah yang bisa dibaca gratis oleh setiap pengunjung. Kopirasi namanya, kedai kopi yang mengusung tema kopi dan literasi.

Seorang perempuan yang selalu duduk di kursi berjejer menghadap jendela yang memperlihatkan pemandangan di luar kedai kopi. Perempuan yang mengenakan setelan baju bergaris hitam putih dengan celana hitam dan sepatu sneakers senada dengan warna celananya dilengkapi tas selempang rajut kesukaannya. Ia menikmati kopi sambil membaca buku dan sesekali mengamati pergerakan kendaraan yang berlalu-lalang di luar sana. Tidak lupa, earphone yang setia bertengger di telinganya menyuguhkan lagu yang dinyanyikan payung teduh, mengisi riuh di kepalanya.

Sekala Jingga, perempuan muda berusia sekitar 23 tahun yang gemar menulis. Perempuan minim ekspresi, memiliki wajah oval, mata bulat dengan bola mata berwarna coklat, bibir tipis, rambut lurus sebahu dan kulit sawo matang, persis seperti perempuan Indonesia pada umumnya.

Di atas meja tersaji pastry ditemani secangkir kopi favoritnya. Terhitung sudah 50 menit ia duduk mencari inspirasi untuk proyek buku yang sedang digarap. Pikirannya kalut, ia duduk gelisah seperti sedang dituntut sesuatu. Sesekali berdecak, kemudian melajutkan membaca buku, sesekali ia menulis dan mencoret tulisanya sendiri, menelungkup pada lipatan tangan di atas meja, menyender dengan mata terpejam dan tangan menggelantung luruh di sisi tubuhnya. Tampaknya, ia seperti orang yang sedang kehilangan asa. Ia tidak menyadari, ada seseorang yang sejak tadi memperhatikannya dengan saksama.

Orang itu beranjak mendekat dengan langkah lebarnya. Seorang lelaki, bertubuh sedang, berbahu lebar, matanya sedikit sipit, dengan rambut hitam ikal, dan sedikit kumis tipis. Dia mengenakan kaos hitam polos yang dilapisi kemeja kotak-kotak, celana jeans abu-abu, dan topi putih yang bertengger di kepalanya.

"Boleh duduk di sini?" Tanya lelaki itu, pada Jingga yang sedang larut dalam lamunanya.

Jingga menoleh dan mengedarkan pandangannya ke sekitar, "masih banyak kursi yang kosong." Tunjuk Jingga pada deretan kursi yang kosong.

Tanpa permisi, lelaki itu duduk di sebelah Jingga. "Gue maunya duduk di sini." Kekeh lelaki itu.

Sejenak hening dan Jingga mengidikkan bahunya seolah ia tidak peduli. Jingga melanjutkan bacaannya yang belum selesai. Tidak berselang lama, lelaki itu memperkenalkan namanya.

"Biru," ucapnya sambil menyodorkan tangan mengajak Jingga berkenalan.

Jingga lantas menoleh, keningnya mengernyit kebingungan, ada angin apa lelaki ini memperkenalkan dirinya. Jingga tidak ambil pusing, ia menjabat tangan lelaki itu sambil berkata, "Jingga" tuturnya singkat.

Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya singkat. Ia dari samping mengamati Jingga yang sedang fokus membaca novel. Jingga yang merasa risih karena ditatap terus-menerus lantas menoleh.

"Kenapa?" Tanya Jingga heran.

"Nggak apa-apa." Ucap Biru.

"Jangan ngeliatin! Risih!"

Biru terkekeh mendengarnya. Kemudian ia bertanya, "Sorry, ya kalau lancang, dari tadi gue perhatiin lo kok gelisah terus?"

Jingga menoleh, "Maaf ya, urusannya sama kamu apa? Permisi."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 30, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NEOPHYTEWhere stories live. Discover now