JADI PIHAK KETIGA

Start from the beginning
                                    

Suruh Ambu pulang, mpok.

Mpok Hindun.

Oke.

Untung saja Rasyid sudah mengirimkan pesan pada Syarief. Dan Rasyid sudah meminta mpok Nina yang menyalin rekaman CCTV. Setelah itu, seperti tidak terjadi apa-apa. Apalagi kalau ada Syarief di rumah, semoga tidak ada kecurigaan.

Kayara yang baru saja dari kantin, ia ingin masuk ke dalam ruangan. Mana Rasyid masih di dalam ruangannya, takut-takut ada yang melihat. Apalagi Kayara yakin, Rasyid belum sarapan. Maka dari itu Kayara sengaja membelikan sarapan untuk Rasyid.

"Aya." Dokter senior, yang telah menjadi mantannya--kini berdiri di hadapan Kayara. Untuk apalagi, mau apalagi. Rasanya Kayara ingin berteriak kala melihat Dokter Samuel.

"Kenapa Dok?"

"Yaya, ini bukan sedang tugas. Jadi, tolong kasih aku beberapa menit untuk bicara"

"Aku rasa, nggak ada yang harus di bicarakan."

"Banyak Aya, banyak. Tentang mama, kita bisa berjuang dan menyakinkan mama kalau kamu perempuan yang pantas untuk jadi pendamping aku."

"Tapi orang tua kamu tidak pantas jadi mertua aku."

"Kayara, kamu bicara apa barusan? Mama hanya perlu di yakinkan, kita berusaha."

"Muel, jangan memberikan beban. Aku di sini masih ingin bekerja. Paham?"

"Apa selama ini aku, beban?"

"Ya."

"Dan aku nggak pernah bikin kamu bahagia?"

"Iya" Dokter Samuel menghela nafas berat, menarik bahu Kayara dengan pelan. Keduanya saling menatap. Kayara mencoba sebisa mungkin untuk terlihat biasa saja, meski sebenarnya ia tidak nyaman dengan situasi sekarang.

"Aya, apa kamu nggak tau selama ini aku berusaha agar kamu senang?" Kayara masih menatap Samuel dengan tenang. "Aya, kamu tau jelas perasaan aku. Gimana bisa kamu bilang aku ini beban? Kayara, demi Allah aku nggak percaya."

"Muel, ini rumah sakit. Tolong lepasin tangan kamu."

"Kayara, kamu tau jelas gimana perasaan aku sama kamu. Dan, kita memang perlu bicara Aya."

"Cukup satu kali bagi aku untuk kasih kesempatan, Muel."

"Aya, tolong--

"Anjay ribut depan pintu, masuk napa!?" Keduanya menoleh mendapatkan sosok Rasyid yang kini tersenyum ke arah Kayara. Lebih tepatnya senyuman mengejek. "Mohon maaf nih, gue ganggu. Tapi gini loh, kalau mau berantem minimal jangan depan pintu. Gue pan, mau lewat."

"Rasyid." Panggil Kayara dengan tatapan maut, dan jangan lupakan gigi Kayara seperti ingin memakan Rasyid sekarang juga. "Diem, atau gue---

"Dia siapa?" Sela Samuel yang merasa tidak pernah melihat laki-laki tersebut. Apalagi dari dalam ruangan Kayara.

"Gue Rasyid pria paling tampan, masa lo kagak kenal?" Kepala Samuel menggeleng tanda memang tidak kenal. "Astaghfirullah Dokter satu ini, masa iya kagak kenal sama yang namanya Rasyid si cowok paling ganteng se-Jakarta? Wajah tampan campuran kawasan Bandung dan Jakarta, pakaian branded, tubuh seksi dan idaman. Belum lagi suara yang lembut persis kain sutra."

Kayara tertawa, tangannya tidak bisa menahan untuk tidak menjitak kepala Rasyid. Kayara kira Rasyid akan ada perubahan, walau sedikit. Ternyata, masih sama. Gila pujian dan selalu memuji dirinya sendiri.

"Saya memang nggak kenal."

"Ya udah, kagak masalah. Gue bukan type orang yang cari masalah." Lalu tangan Rasyid mengambil plastik yang Kayara pegang. "Duh Dokter Kayara si cantik jelita, tau aja gue lapar."

"Gue emang sengaja beli buat lo, takutnya di dalam ruangan lo sekarat."

"Jaga omongan ya, cantik." Rasyid dengan sengaja mencubit pipi Kayara. Dan tingkah mereka tidak luput dari tatapan Samuel. Entah mengapa hati Samuel panas kala melihat interaksi dua lawan jenis di hadapannya.

"Syid, bisa diem atau----

"Abang!?" Nah, suara Sasi yang berjalan ke arah mereka. Dokter Samuel tambah bingung.  "Abang, ya Allah. Jadi abang orang ketiga yang menghancurkan hubungan Dokter Yaya dan Dokter Samuel?"

"Mulut lo, sini gue cabein. Asal nyablak aja. Ya kali cowok kayak gue jadi pihak ketiga? Gila aja. Maaf ya, nggak level."

"Terus, kenapa abang berdiri di tengah-tengah mereka berdua?" Rasyid melirik kiri kanan, benar juga perkataan Sasi. Ini posisi yang sangat salah paham. "Abang, gue bilangin mama loh. Abang kalau suka sama Dokter Kayara, jangan main rebut tau."

"Dokter Sasi, jangan bikin gue nambah emosi." Sela Kayara dengan tangan mencubit pipi Sasi. Rasyid mengangguk setuju, sedangkan Sasi malah tertawa tanpa dosa.

"Dokter Sasi kenal sama pria ini?" Tunjuk Dokter Samuel ke arah Rasyid yang memberikan wajah tampannya dengan senyuman yang dibuat-buat agar terlihat imut.

"Ini bang Rasyid, abang sepupu saya. Dokter Samuel ada masalah?" Samuel nampak terlihat bernafas dengan lega. Sasi jadi curiga, matanya kini menatap Kayara penuh intimidasi. "Abang ngapain di sini?"

"Astaghfirullah, gue lupa." Rasyid menutup pintu ruangan Kayara. "Abang ada perlu, dadah"

"Perlu apa?" Rasyid yang semula sudah melangkah ia berbalik badan. Hanya memberikan senyuman pada Sasi, karena ia tidak mau kalau sampai ada yang tau. Ini masalahnya, jadi ia harus menyelesaikan sendiri.

"Dokter Yaya, terima kasih sarapannya." Setelah itu Rasyid melanjutkan langkah yang begitu cepat. Sasi menatap heran, lalu kini menatap Kayara--yang dengan sengaja malah masuk ke dalam ruangan tanpa pamit.

Dan mereka pergi begitu saja meninggalkan Dokter Samuel, tanpa pamit.

"Bang Rasyid ngapain?"

"Jenguk anak warga, yang kena sayatan pisau."

"Inalilahi. Terus gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah udah di tangani." Sasi mengangguk, ia menarik kursi untuk duduk lalu menghadap ke arah Kayara. "Kenapa lo?"

"Masih mau menghindari Dokter Samuel?"

"Apa gue salah, gue pengen jaga jarak sama dia?" Sasi mengusap pundak Kayara, dia tengah menundukkan wajahnya. "Gue nggak bisa terus gini, gue pengen menyelesaikan masalah gue. Tapi gimana, Samuel lagi dalam keadaan emosi."

"Dokter Sam masih belum terima keputusan lo?" Kepala Kayara mengangguk. Rumit juga hubungan asmara mereka, bikin Sasi nambah pusing aja. "Lo nggak mau nyoba---maksud gue kalian berdua meyakinkan nyokapnya Dokter Samuel."

"Udah Sas, gue udah usaha. Samuel juga udah usaha. Kita berdua udah sama-sama usaha."

"Gimana responnya?"

"Bagi keluarga Samuel, perempuan yang nggak punya keluarga, apalagi nggak punya orang tua, itu aib." Kayara menghela nafas, mencoba untuk memberikan senyuman pada Sasi. "Samuel bukan mau sama-sama meyakinkan, tapi memaksakan. Karena dia tau, ending dari berusaha meyakinkan."

"Gue ikut prihatin."

"Makasih."

RASYIDWhere stories live. Discover now