- Story in Your Eyes -

Start from the beginning
                                    

Ditemani sinar samar dari sang surya yang perlahan turun dari tahtanya sore itu, aku masih meratakan warna pensil dengan ujung jemari pada selembar kertas berukuran cukup besar guna meratakan warna dari pensil yang membentuk gambar beberapa pepohonan beserta refleksinya yang terpantul dari danau yang terletak di depannya.

Gambar tanpa warna yang awalnya kubuat ketika mendatangi danau yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal lamaku di Busan; yang dulu menjadi tempat favoritku ketika membutuhkan ketenangan. Karya yang aku buat untuk diriku sendiri, kusimpan dan kunikmati seorang diri.

Sejak kakakku memutuskan untuk masuk militer dua tahun lalu, aku jadi lebih sering menghabiskan waktu sendirian. Sepulang sekolah, aku selalu menyempatkan diri untuk melukis guna melepas segala kepenatan dan rasa lelah yang tertumpuk selama seharian.

Melukis adalah cara yang aku lakukan untuk menyalurkan segala perasaan setelah kini tak memiliki tempat untuk bersandar. Selain dengan Jungkook, aku tak dapat dengan mudah mencurahkan apapun yang aku rasakan pada orang lain; bahkan dengan kedua orang tuaku sekalipun.

Mama pernah menyampaikan padaku bahwa tinggal di lingkungan baru, bersekolah di tempat baru, membuatku harus bisa bersosialisasi dengan baik agar tak dianggap aneh oleh orang lain.

Hal itu membuat diriku merasa takut untuk mengutarakan pendapatku sendiri, bahwa aku tak nyaman ketika harus menghabiskan banyak waktu dengan banyak orang. Namun, dunia terlalu berisik hanya untuk sekedar mendengarkan apa yang sebenarnya aku rasakan.

"Jina, waktunya makan. Ayo turun!"

Itu suara mama yang menggema setelah ketukan pintu sebanyak tiga kali yang berhasil membuatku tanpa sengaja menggores sebuah garis tak diinginkan pada gambar yang baru saja kubuat. Aku meloloskan dengkus kasar karenanya. Namun, aku tetap menurut untuk membereskan peralatan gambar dan segera pergi turun ke ruang makan.

Ini bahkan masih terlalu sore untuk makan malam. Gerutuku dalam hati ketika mulai turun dari anak tangga.

Masih dengan raut kesal yang terpahat pada tiap garis wajah, aku mulai melangkahkan kaki memasuki area ruang makan. Dan betapa terkejutnya diriku ketika mendapati ada sosok pria selain papa yang duduk di sana.

"Jungkook!"

Aku menghambur begitu saja padanya. Kepalaku membentur dada bidang Jungkook yang terasa semakin keras dari terakhir kali aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu ketika ia mengambil cuti. Namun, rasa hangat dan nyaman itu masih sama. Pelukan dari Jungkook tak berubah sama sekali meski proporsi tubuhnya kini semakin berbeda; mungkin ini karena pengaruh latihan militer yang keras hingga membuat otot-ototnya semakin terbentuk dengan baik.

"Kenapa tak mengabari akan pulang?" Tanyaku sembari melonggarkan pelukan barang sejenak dan menatap wajahnya yang semakin terlihat tegas.

"Aku ingin melihat wajah terkejutmu sekali-sekali."

Jungkook mengaduh saat aku mencubit pinggangnya dan tanpa sengaja meninggalkan noda hitam pada kaos hitam yang dikenakannya. Aku benar-benar lupa untuk mencuci tanganku yang menghitam karena pensil yang ku gunakan untuk menggambar beberapa saat lalu.

"Maaf, Jung," kataku merasa tak enak padanya.

"Tak masalah. Pergilah cuci tangan. Suapi aku makan untuk menebusnya."

Aku memutar bola mata dengan malas setelah mendengar jawaban dari Jungkook yang aku yakini bahwa ia tak serius mengatakannya. Akhirnya aku pergi keluar menuju dapur untuk mencuci tangan di wastafel.

Dan di sanalah aku yang tepat mematung di ambang pintu dapur ketika seorang pria asing yang tak kuketahui asal usulnya, entah sedang apa juga dia tiba-tiba berada pada dapur rumahku dan berjalan begitu santai saat berpapasan dengan diriku yang sempat terkejut melihat presensinya kala itu.

STORY IN YOUR EYESWhere stories live. Discover now