"Yee ... nggak apa-apa kali kalau minta tolong belanja sebentar aka. Atau ... sini, biar aku yang belanjain," tawar Benny. "Butuh apa aja? Nanti chat aja, ya."

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, Kak, aku beli sendiri aja."

"Serius?" Benny menatapku dengan ekspresi sangsi.

Aku mengangguk. "Harus latihan juga, kan? Kudu diberani-beraniin. Nggak mungkin aku ngumpet terus-terusan, kan?" kataku sembari nyengir, untuk menyakinkan Benny sekaligus untuk menepis kegugupan dan ketakutan dalam diriku sendiri. "Lagian, cuma ke minimarket. Siang-siang pula."

"Oke, kalau begitu aku temenin, gimana?" tawar Benny lagi. "Anggap aja proses. Hari ini ditemenin, besok berani sendiri."

Aku berpikir sebentar, lalu mengangguk. Nggak ada salahnya jika Benny mau menemani. Terlebih, aku memang kurang percaya diri.

Alih-alih naik mobil, kami memutuskan untuk jalan kaki. Hitung-hitung sekalian olahraga karena aku sudah terlalu lama berdiam diri di rumah.

Jalanan komplek itu nggak besar dan nggak kecil serta cukup sepi. Saat kami keluar gerbang, hanya terlihat seorang petugas kebersihan yang tengah mengangkut sampah dan seorang pria berusia lanjut yang membawa seekor anjing jenis pug berwarna hitam. Benny menyapa pria itu dengan sebutan Opa Arung dan anjingnya, Dotty.

Gelisah semakin terasa saat aku keluar dari gerbang halaman. Rasanya seperti ada sesuatu yang merambat di punggungku ke tulang leher dan berakhir di tengkuk. Kunaikkan hoodie-ku menutupi kepala, dan kumasukkan tanganku ke saku. Aku tahu ini mungkin hanya perasaanku saja, tetapi aku nggak bisa menyingkirkan perasaan bahwa aku sedang diamati. Hasrat untuk berlari kembali ke rumah dan bersembunyi di kamar menggelegak. Pikiran liarku berkata bisa saja bajingan itu ada di sekitar sini, bersembunyi, dan menunggu kesempatan untuk menyerangku lagi.

Nggak! Nggak! Eva, stop!

Aku harus membuang pikiran buruk itu mulai sekarang. Ingat apa yang Bude Mara bilang, Va? Aku bisa mengingat-ingat kenangan indah untuk meredam ketakutan dalam diriku. Aku harus membuat kontranya saat pikiran-pikiran buruk itu muncul di benak. Aku harus berusaha--

Seorang pria berkemeja muncul dari salah satu belokan mengendarai motor. Aku terkesiap dan sontak minggir sejauh-jauhnya. Begitu juga saat pria berambut keriting muncul dari pagar rumah, tukang sayur lewat, dan satpam komplek yang berkeliling. Kukepalkan tanganku yang masih ada di saku celana, melawan hasrat untuk kabur dengan berulang-ulang membisiki kepalaku bahwa itu orang lain. Itu cuma tetangga komplek Benny dan Bude Mara. Nggak ada si bajingan itu atau orang berbahaya di sini.

"Ev?" Benny menatapku yang berdiri mepet di tembok. Cowok itu kemudian tersenyum. "It's ok, santai aja. Kita nggak buru-buru."

Aku mengangguk cepat-cepat.

Benny menatapku sesaat, lalu bertanya, "Ada sesuatu yang kira-kira bikin kamu lebih nyaman?"

Aku terdiam. Apa yang bisa membuatku lebih nyaman? Memikirkan hal ini saja sudah membuatku gusar, karena ... bisakah aku keluar rumah dengan nyaman, seperti dulu?

Sebelum aku menjawab, Benny tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Ini gimana?" tanyanya. "Kamu bisa pegang tangan aku? Jadi, tiap kamu ngerasa takut atau dalam bahaya, kamu ingat kamu nggak sendiri. Ada aku di sini. Aku bakal jagain kamu, oke?"

Kupandang tangan Benny lekat-lekat.

"Astaga, kok kedengerannya kayak aku lagi modus, ya?" keluh Benny, terdengar sedikit menyesal. "Sori, aku cuma mikir--ah." Benny berniat menarik tangannya dan membatalkan tawarannya, tetapi aku buru-buru menangkap tangan Benny dan menggenggamnya erat. Pria itu tersenyum lega. "Okesip kalau begitu."

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluWhere stories live. Discover now