"Gue ngga peduli deh, mau bengkak atau malah tambah parah nih luka, gue ngga peduli. Yang penting makan dan ngga jadi mati kelaparan!" tekatnya membatin dan mulai menggigit roti itu.

Sedikit demi sedikit roti itu pun habis di makannya. Walaupun sekarang bibirnya terasa sangat sakit, tapi setidaknya perutnya tidak sakit lagi. Jadi, dia bisa tidur sekarang. Entahlah, apakah dia bisa bicara dan makan saat makan malam nanti atau tidak. Ia tidak peduli. Yang sekarang sedang dipikirkannya adalah tidur dan bermimpi indah lalu bangun tepat saatnya jam makan malam.

Siang kini telah berganti jadi malam. Waktu pun sudah menunjukkan saatnya makan malam. Namun, Bell masih tetap terlelap dalam tidurnya. Mungkin, karena emosinya benar-benar terkuras hari ini, sehingga ia pun tidur bagaikan orang tak sadarkan diri. Berkali-kali Zinia maupun Abra memanggil anak bungsu mereka itu. Tetapi sama sekali tak ada jawaban. 

Hoa..

"Aw!" pekiknya ketika merasakan sakit pada sudut bibirnya semakin menjadi akibat ia menguap terlalu lebar.

'Kenapa gue mesti nguap sih? Mana makin sakit lagi nih mulut!' kesalnya dalam hati.

"Woi gembel! Di panggil mama tuh, disuruh makan.." ucap Angga yang sedang bersandar di ambang pintu kamar Bell. Tadinya ia berniat masuk dan menyeret adiknya itu hingga ke meja makan. Namun, adiknya sudah bangun lebih dulu sebelum ia masuk.

"Gu.." ucap Bell gantung. Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena bibirnya yang bertambah sakit itu.

"Gu apaan?" tanya Angga lagi dan hanya dibalas gelengan oleh Bell. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan berlari menuju ruang makan.

Angga yang mengerti kalau Bell sedang menutupi rasa sakitnya hanya menghela nafas dan mengikuti langkah Bell ke meja makan, dimana Abra dan Zinia sudah siap untuk menyantap makan malam bersama 2 anak mereka. Saat Bell menarik kursi duduk dihadapan papanya, saat itu juga Abra menghela nafasnya panjang. Lagi dan lagi, wajah putri sematawayangnya babak belur.

"Muka kamu kenapa lagi, Nya?" tanya papanya, Abra dengan tegas. Bell hanya mengangkat bahunya dan mengalihkan pandangan ke arah meja makan yang masih kosong. Bukan bermaksud kurang ajar pada orang tua, tetapi ia jauh lebih sadar akan kondisi bibirnya yang sakit. Maka dari itu, Bell pun memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan itu.

"Dia berantem lagi di sekolah Pa.." celetuk Angga. Nah, lagi pula ia memiliki juru bicara jika disaat-saat seperti ini.

"Udah Papa duga." gumam papanya itu sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing.

Abra tidak habis pikir dengan kelakuan anak bungsunya itu. Sudah sering Abra mendapat teguran dari sekolah tentang kelakuan Bell yang sungguh membuat Abra pusing. Belum lagi nilai Bell yang tidak bisa dibilang bagus alias hancur lebur. Tetapi sekolah sangat tidak rela jika harus mengeluarkan Bell dari sekolah. Bagaimanapun juga Bell adalah atlet kebanggaan sekolah. Kalau saja anaknya itu tidak memiliki prestasi, mungkin melihat putrinya sekolah hanya angan-angan untuk Abra.

Kalau Angga yang seperti itu mungkin dia maklum, tetapi Bell? Dia tidak pernah habis pikir, kenapa begitu keras watak anak bungsunya ini. Bahkan Papinya Bell (kakek Bell) pun keheranan melihat kelakuan cucu perempuan satu-satunya itu. Bahkan mami (nenek Bell) sampai bertanya kepada Zinia, apa yang ia inginkan ketika mengandung Bell, karena terlalu terkejut melihat tingkah cucunya yang jauh dari kata anggun. Namun, walau begitu, Bell tetap saja menjadi kesayangan nenek dan kakeknya.

Padahal mereka semua berharapnya Bell akan tumbuh menjadi perempuan yang sopan dan elegan, juga yang pastinya berperilaku seperti perempuan kebanyakan. Tetapi sepertinya Tuhan menganugrahi keluarga ini dengan versi yang lebih baik dari seorang Bell feminim. Bell yang pecicilan tidak begitu buruk dan justru sering menjadi penghibur dalam keluarga.

Tak lama kemudian, makanan pun sudah tersaji dengan lengkap di meja. Saat semua orang sedang menikmati makanan mereka, Bell justru hanya menatap piringnya kosong. Dia sadar kalau bibirnya sekarang tidak bisa menganga dengan lebar dan itu membuat dirinya tidak bisa makan dengan banyak. Bahkan bibirnya itu sudah terasa sakit walau hanya bergerak sedikit.

"Kenapa ngga makan sayang?" tanya mamanya. Bell hanya menggeleng. Dia memilih untuk meminum air putih yang ada di meja. Dia sangat haus saat ini, jadi mau tidak mau dia harus menahan rasa sakit itu.

"Minum air aja udah sesakit itu. Gimana lagi kalau makan? Pasti sakit banget. Kasian.." ucap Angga disela-sela makannya.

"Adiknya lagi kesakitan kok malah diejek sih, Ga?" Bela Zinia. Bell yang merasa sedikit senang karena dibela pun memberikan senyuman kemenangannya ke Angga.

"Gausah senyum-senyum ntar makin sakit tu bibir. Makanya lain kali jangan berantem lagi. Ngga bisa makan 'kan jadinya?" ucap Angga lalu mengetuk kepala Bell pelan menggunakan sendok Bell.

"Udah udah. Anya kamu makan sop ini aja. Wortel sama kentangnya biar mama potongin kecil-kecil.." Bell mengangguk.

Zinia mengambilkan kuah sop ayam untuk Bell. Zinia juga memotong wortel dan kentang menjadi ukuran yang lebih kecil. Dengan hati-hati ia menyuapi anak bungsunya itu. Walau ia kesal dengan tingkah putrinya, tetapi ia juga tidak mau putrinya sakit karena kelaparan. Perlahan tapi pasti sop itu pun habis.

"Jangan berantem lagi ya. Besok mama siapin bubur aja kalau masih sakit bibirnya. " ucapnya lalu beranjak sambil membawa piring-piring kotor. Bell menghela nafas panjang.

'Kalo kayak gini, bakal jadi patung deh gue besok di sekolah' batinnya.

"Besok papa yang antar sekolah." Abra mengelus kepala Bell lalu mengecupnya dan beranjak dari meja makan. Saat Bell juga mau beranjak dari kursinya, tangannya dicekat oleh Angga.

"Biar gue obatin lukanya. Bibi!" teriak  Angga.

"Iya, den. Ada apa?"

"Tolong ambil kotak P3K ya, Bi.. " jawab Angga. Bibi mengangguk dan pergi untuk mengambil kotak P3K.

"Ini Den.. " ucap bibi menyodorkan kotak dengan tanda tambah berwarna merah di depannya.

"Makasih ya bi.." jawab Angga dengan senyuman manisnya, bibi pun mengangguk dan beranjak pergi.

Angga membuka kotak itu dan mengambil kapas juga alkohol. Ia juga menyurahkan sedikit alkohol itu ke kapas. Dengan sangat hati-hati, Angga mengobati luka adik nakalnya ini. Sesekali Bell meringis karena pedih di lukanya saat terkena alkohol. Angga sebenarnya tidak tega mendengar suara ringisan adiknya, tetapi ini semua dilakukan agar adiknya cepat sembuh. Angga lanjut mengambil kapas dan memberikan betadine. Lalu ia menempelkannya ke kening dan pipi Bell dan memberikan sedikit plester agar kapas itu tidak lepas.

"Nah, akhirnya selesai juga. Besok pagi plaster yang ada di pipi boleh dilepas. Tapi yang di kening ngga usah. Soalnya itu sedikit parah dan benjol. Luka yang disudut bibir lo itu besok udah ngga bakal sesakit ini lagi. Jadi mungkin besok lo udah bisa ngomong sama makan, tapi harus tetap hati-hati soalnya belum terlalu sembuh." jelas bang Angga panjang lebar. Bell mengangguk dan beranjak menuju kamarnya.

To Be Continue..

Cold, Truth or DareWhere stories live. Discover now