"Seperti yang kau bilang tadi, jendelanya gelap jika dilihat dari luar. Jadi, tidak perlu khawatir," sahut Farenza.

"Tapi, aku malu."

Farenza tidak menghiraukan ucapan Neissya. Ia melumat bibir istrinya itu dengan penuh penuntutan.

Neissya membalas ciuman Farenza sembari membelai rambut dan punggung suaminya itu.

Farenza melepaskan bajunya kemudian melanjutkan ciumannya ke leher jenjang Neissya.

☽༓☾

Keesokan paginya.

Perlahan Neissya membuka matanya. Ia mendapati Farenza yang masih tertidur pulas dengan posis kepala dilelapkan ke dada Neissya. Sementara tangan kekarnya memeluk perut Neissya dari dalam selimut.

Neissya mengusap dan mengecup puncak kepala suaminya itu. Dengan lembut, Neissya berbisik, "Sayang, apakah hari ini kau tidak akan pergi bekerja?"

Tidak ada respon.

Dengan hati-hati, Neissya membenarkan posisi suaminya agar tidur di sampingnya. Setelah itu, Neissya pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai, Neissya keluar dari kamar mandi sambil mengenakan jubah mandi. Ia melihat suaminya yang sudah bangun meski masih terlihat mengantuk.

"Sayang, kau mau makan apa untuk sarapan pagi ini?" tanya Neissya sambil melilit rambutnya yang basah dengan handuk.

Farenza tampak berpikir. "Apa, ya?"

Neissya duduk di kursi meja rias. Ia mengoleskan krim siang ke wajahnya. Setelah itu Neissya menatap suaminya yang tidak kunjung memberikan jawaban.

"Kalau begitu, sana mandi saja dulu. Aku akan membereskan tempat tidur," ucap Neissya sembari merapikan bantal.

Namun, tiba-tiba Farenza menerkamnya. "Hmm, aku suka aroma tubuhmu. Aku mau memakanmu saja."

"Farenza, aku sudah mandi," gerutu Neissya.

"Kau bisa mandi lagi nanti. Aku akan membeli pabrik sabun agar kau bisa mandi setiap aku selesai memakanmu," sahut Farenza.

"Kau harus pergi ke kantor, nanti kau bisa kesiangan," tolak Neissya halus.

"Sebentar saja." Farenza mengecup leher Neissya.

Neissya hanya diam dan membiarkan Farenza mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Aw! Jangan digigit!" Neissya menjerit kecil.

"Saat kita punya bayi, aku tidak bisa memainkannya lagi. Sekarang ini jatahku," ujar Farenza.

"Iya, tapi jangan digigit! Sakit tahu!" Neissya menjambak rambut suaminya.

"Biasanya kau lebih suka aku berbuat sedikit kasar, kan?" Farenza menyeringai tampan.

Neissya meringis pelan. "Aw, berdarah."

Farenza panik. "Berdarah? Mana?"

Neissya mendorong Farenza dan menindihnya. Ia mengunci kedua tangan suaminya ke atas.

"Kau pikir aku juga tidak bisa kasar padamu?" gerutu Neissya.

"Oh, kau seksi sekali, Sayang. Kasari aku." Farenza memandangi tubuh polos Neissya yang berada di atas tubuhnya.

Neissya semakin kesal. Ia ingin sekali mencakar wajah tampan suaminya itu.

Farenza bergerak cepat menggulingkan tubuh Neissya lalu menindihnya. "Kau tidak tega melukai suamimu ini?"

"Farenza!!!"

☽༓☾

Di sebuah restoran, terlihat Rouvin tengah duduk di salah satu meja sendirian.

Hilda memasuki restoran. Ia melihat ke arah Rouvin. Merasa ada yang memperhatikan, Rouvin menoleh ke arah Hilda. Keduanya sama-sama melambaikan tangan.

"Kau sudah lama menunggu?" Hilda menghampiri meja Rouvin lalu duduk berhadapan dengan pria itu.

Rouvin menggeleng. "Tidak juga, aku baru datang."

"Hmm, aku pindah rumah setelah bekerja di toko kelontong. Jadi, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai di sini. Maafkan aku," kata Hilda.

"Tidak apa-apa, memangnya kau pindah tempat kerja?" tanya Rouvin.

Hilda mengangguk. "Iya, setelah kantor bengkel tempatku bekerja diobrak-abrik oleh orang-orang misterius."

"Aku turut sedih mendengarnya," ujar Rouvin.

Hilda menghela napas berat. "Aku lebih mengkhawatirkan keadaan bosku yang tiba-tiba menghilang bersama suaminya. Dia adalah orang yang baik dan peduli pada para karyawannya. Kami benar-benar sedih dan berdo'a semoga bos kami baik-baik saja di mana pun dia berada."

"Ya, semoga saja." Rouvin mengangguk-anggukkan kepalanya.

Setelah sedikit berbasa-basi, mereka pun memesan makanan. Ketika makanannya sampai, Hilda dan Rouvin pun menyantapnya.

Rouvin memperhatikan Hilda yang sedang menyantap dessert. "Apakah mereka lupa memasukkan cincinnya?"

"Apa?" Hilda tampak terkejut.

Rouvin tampak khawatir. "Jangan-jangan kau tidak sengaja menelan cincin yang dimasukkan ke dalam dessert tersebut."

Hilda panik mendengarnya. "Siapa yang memasukkan cincin ke dalam dessert?"

"Aku yang menyuruh pelayan memasukkan cincin ke dalam dessert," sahut Rouvin.

"Kenapa kau melakukannya?" gerutu Hilda.

Rouvin menghindari tatapan Hilda. "Karena aku ingin melamarmu."

Hilda mengacak-acak dessert dengan sendok. "Mungkin cincinnya masih ada di dalam. Aku rasa aku tidak mengigit sesuatu yang keras."

Rouvin membantu mengacak-acak dessert tersebut. "Semoga saja."

Sendok Hilda mengenai sesuatu yang keras. Ketika digali lebih dalam, ternyata ada kotak cincin yang dibungkus plastik.

Hilda mendelik ke arah Rouvin. "Jika bendanya sebesar ini, aku tidak mungkin menelannya tanpa sengaja."

Rouvin tersenyum kecil. Ia mengambil kotak cincin itu lalu membukanya. Rouvin menyematkan cincin tersebut ke jari manis Hilda.

"Menikahlah denganku," kata Rouvin.

Hilda melting karena dilamar oleh Rouvin yang sudah beberapa bulan ini dekat dengannya.

Rouvin menunggu jawaban Hilda.

Hilda menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Rouvin tersenyum. "Mari temui orang tuamu."

Lagi-lagi Hilda menganggukkan kepalanya.

Rouvin memeluk Hilda.

⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅

14.26 | 1 Desember 2021
By Ucu Irna Marhamah

AMOREVOLOUSWhere stories live. Discover now