Karena baterai ponselnya lemah, Neissya pun men-charge-nya.

Neissya duduk di kursi kebesarannya. Ia mengotak-atik komputernya dan membuka sistem keamanan kantor. Neissya menonaktifkan seluruh CCTV dan kabel telepon di kantornya.

Tiba-tiba telepon di meja berdering. Ia pun mengangkatnya.


"Athena? Apakah kau masih bisa duduk tenang saat namamu ada di nomor 2?" suara pria dari seberang sana. Itu bukan suara Rouvin, tapi pria lain.

"Kau siapa?" tanya Neissya datar. Untuk pertama kalinya Neissya memasang ekspresi seserius itu.

"Malaikat mautmu."

Neissya menautkan alisnya.

"Serahkan dirimu dengan sukarela atau kami akan memenggal kepala suamimu juga," ancam pria itu.

Neissya mengepalkan tangannya. "Aku yang akan memotong-motong tubuhmu hingga partikel terkecil dan tidak tersisa lagi."

Terdengar suara tawa pria itu. "Ancamanmu sangat menakutkan, tapi sepertinya kami akan lebih dulu menemukan suamimu. Dia seorang Pimpinan perusahaan bernama Hadrian Corporation, kan?"

"Kau tidak akan pernah bisa menyentuhnya!" potong Neissya.

Neissya tidak menyadari ada telepon yang masuk ke ponselnya yang sedang di-charge. Ponselnya juga sedang dalam mode senyap getar.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Neissya menoleh ke arah pintu. Ia pun mematikan teleponnya.

"Masuk."

Pintu dibuka dari luar. Masuklah seorang pria berjas hitam dan berambut cepak yang tak lain adalah Rouvin.

Neissya terkejut dengan kedatangan Rouvin yang tiba-tiba. Tanpa disuruh, Rouvin duduk berhadapan dengan Neissya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Rouvin.

"Suamiku dalam bahaya," kata Neissya tanpa basa-basi sembari beranjak dari tempat duduknya dan membawa koper hitam yang isinya tentu saja benda-benda yang hanya dimiliki oleh assassin profesional.

"Ada orang lain yang meneleponmu?" tanya Rouvin yang terlihat tenang.

"Saat ini aku tidak punya banyak waktu. Aku harus menyelamatkan suamiku." Neissya berlalu pergi. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu ketika melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di lantai satu bangunan.

Neissya menoleh ke arah Rouvin. Terlihat bagian bawah jas pria itu yang terkena percikan darah.

"Kau yang membunuh mereka?" tanya Neissya.

Rouvin mengangguk santai. "Sudah kubilang kemarin kalau mereka akan datang hari ini."

Neissya semakin cemas dengan keadaan suaminya.

"Jangan percaya pada orang yang meneleponmu, Neissya. Itu hanya jebakan. Aku baru saja melewati gedung Hadrian Corporation. Tidak ada apa pun di saja. Semuanya baik-baik saja. Percayalah padaku," ucap Rouvin.

Neissya mengenal Rouvin dengan baik. Meski sudah lama tidak bertemu, Neissya memilih untuk mempercayai ucapannya. Ia pun kembali duduk di kursinya.

"Tenangkan dirimu. Kau harus tetap fokus dan tenang. Coba kau telepon suamimu dan tanyakan kabarnya," suruh Rouvin.

Ponsel Neissya jatuh ke lantai karena getaran panggilan yang masuk. Perhatian Neissya dan Rouvin teralihkan ke ponsel tersebut.

Neissya pun mengambil ponselnya. Ternyata Farenza yang menelepon. Ia pun segera mengangkat telepon dari suaminya itu.

"Sayang, jangan pergi ke mana pun. Segeralah telepon polisi atau bantuan untuk segera datang ke sana," kata Farenza dari seberang sana.

Neissya tidak segera menjawab. Ia menatap Rouvin di depannya sambil menjauhkan ponselnya dari mulutnya.

"Bagaimana ini? Sepertinya suamiku tahu aku berada dalam bahaya. Bisa-bisa dia nekat datang ke mari," bisik Neissya.

"Jangan sampai dia datang ke mari. Ini akan menjadi masalah besar," kata Rouvin.

"Jika dia datang ke mari, dia akan mengetahui masa laluku." Neissya tampak sedih.

"Jika dia tulus mencintaimu, dia tidak akan pernah mempermasalahkan siapa kau di masa lalu," sahut Rouvin.

"Sayang? Neissya?!" Farenza memanggil nama istrinya.

Tiba-tiba sebuah tembakan melesat ke jendela kantor hingga pecah. Neissya berteriak kaget. Ia pun segera bertiarap dan mengakhiri telepon dengan Farenza secara sepihak.

Sementara Rouvin terlihat begitu santai memasang silencer ke senapannya sembari duduk.

Di gedung seberang terlihat ada sniper yang sedang membidik ke arah ruangan kantor Neissya dengan senapannya.

Neissya bersembunyi di balik sofa dengan senapan di tangannya. Ia pun membidikkan senapannya ke arah sniper yang jauh di seberang sana. Saat target terkunci oleh lensa senapan, Neissya menarik pelatuknya. Si sniper pun tumbang.

Rouvin melihat ada sniper lain di titik yang berbeda di gedung seberang. "Mereka tidak sendirian."

⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅

14.23 | 1 Desember 2021
By Ucu Irna Marhamah

AMOREVOLOUSحيث تعيش القصص. اكتشف الآن