8 - Bewok Banyak Bulunya

Start from the beginning
                                    

"Bu-bukan begitu, Bang." Menunduk tak ada semangat berdebat.

Bu Kos menginterupsi. "Lu enggak usah khawatir, Sti. Adam pasti jagain lu semua, kalau dia galak juga demi lu semua."

"Bukan kalau lagi, Bu. Emang anaknya udah galak dari lahir," ucapku dalam hati karena kalau langsung tidak berani.

"Paling bentar gue dua minggu di sana, bisa lebih lama lagi kalau adek gue masih perlu bantuan. Jadi gue nitip pesen ke lu semua, jangan bandel, jangan bader, dengerin apa kata anak gue. Gue doain lu semua sehat-sehat, lancar kerjanye, lancar sekolahnye." Suasana mencekam itu kini berubah jadi sedikit melankolis. "Tapi bayar sewa mah kudu tetep tepat waktu, ye! Kasih ke anak gue, jangan telat-telat nanti lu pada kagak bisa mandi. Apalagi laki nih pasti kudu pada mandi subuh."

"Abis ngapain tuh?" sahut si Malik.

"Malik, serius kek!" sahut si Hana melotot sampai cowok di sebelahnya terdiam.

"Pakek nanya, kata si Hana tiga hari sekali lu suka mandi subuh, Mal," celetuk Bu Kos hingga si pemilik nama Malik yang artinya 'pemilik' itu melotot geram. "Udeh pokoknya itu yang mau gue sampein, nanti gue minta bantuan anak gue kalau ada yang lupa mah."

"Sekarang udahan sedih-sedihnye, gue pasti balik lagi. Nih mending makan oleh-oleh dari anak gue."

Sumpah saat itu tidak ada yang bersedih, tapi bodo amatlah setidaknya ada hal baik dari kedatangan si bewok. Dilihat-lihat oleh-olehnya banyak juga, beda sama sebelum-sebelumnya yang cuma bawa satu tas, sekarang dua tas oleh-oleh ada di atas meja makan.

"Sana lu pada makan, pada ceking begitu prihatin gue," celetuk Bang Adam sembari menuntun Bu Kos keluar karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa dia harus mempersiapkan keberangkatannya besok. Dasar, mentang-mentang badannya bagus pake body shamming-in orang-orang segala.

"Ini boleh dihabisin, kan?" tanyaku.

"Rakus bener lu!" jawab Bang Adam yang masih ada di depan pintu.

"Ya sama kita Bang dimakan, masa sama Asti sendiri." Jadi menyesal bertanya, tapi mau ngambek juga lapar oleh-olehnya sangat menarik.

Debat tidak perlu, isi perut nomor satu.

***

Akbar benar-benar berbeda dari kami berlima, di saat kami memasang wajah sedikit kesal dia malah santai-santai saja memakan makaron warna biru oleh-oleh Bang Bewok. Kami juga makan makanan yang sama cuma beda warna, tapi disertai emosi dan kekesalan yang membara.

Siapa yang tidak kesal saat hari-hari di Kosan Ceria yang damai dan menyenangkan karena ada Akbar si penghuni baru yang tampan, tiba-tiba datang masalah paling besar yaitu si galak Bang Adam. Segala usahaku untuk mendekati Akbar pasti semakin susah saja, untung kemarin lihat roti sobeknya, tapi tetap saja kenapa harus Bang Adam? Kenapa Bu Kos harus ke Garut? Kenapa anak adiknya Bu Kos harus melahirkan?

"Makan yang bener, Sti. Dinikmatin, bukan cemberut mulu dari tadi udah ngabisin setengah kotak juga," tegur si Hana.

"Gue tuh kesel! Apa kalian enggak kesel?"

Tunggu, sekarang mereka juga terlihat biasa-biasa saja, seolah kehadiran Bang Adam bukan lagi masalah besar. Gila ya? Mudah sekali mereka mengubah perasaannya, mudah sekali mereka menerima orang baru yang belum tentu orang itu akan memberikan dampak baik pada hidupnya, jelas-jelas si bewok itu semena-mena tidak punya perasaan iba.

Mentang-mentang dapat oleh-oleh dari dia.

"Bentar, lo semua oke-oke aja gitu kalau Bang Adam ada di sini? Ngontrol kita seenaknya mentang-mentang kita tinggal di bangunan milik dia. Si bewok itu bakal bikin kita enggak nyaman, kok lo semua bisa santai-santai aja?" protesku karena jujur ini sungguh mengganggu.

"Ya lu pikir kita bisa apa, Sti? Ngusir Bang Adam dari sini? Gila kali lu," timpal si Malik. "Siapa tahu dia sekarang lebih baik, dan bentaran doang di sininya. Santai ajalah, makan dulu."

"Lagian sekarang oleh-olehnya lebih banyak, dia mikirin kita berarti," ungkap si Wahyu. "Sebagai orang sunda, biasanya kalau orang pas balik bawa sesuatu buat orang rumah itu tandanya dia sayang sama yang ada di rumah itu."

"Ya itu kan buat orang sunda, gue bukan ya, Yu." Mereka ini sebenarnya lupa tidak sih dengan kejadian sebelumnya? Apa satu kebaikan bisa membuat lupa banyaknya diskriminasi yang pernah laki-laki itu lakukan?

"Di sini yang lagi dateng bulan siapa sih sebenernya? Si Ica kan? Kok malah lo yang marah-marah sih, Sti?" Perkataan si Hana berhasil membuatku naik pitam. Apa hubungannya coba?

"Eh, yang boleh marah emangnya cuma yang lagi PMS aja?"

"Tapi lo enggak seharusnya maksain orang buat setuju sama apa yang lo rasaian!" Si Hana ikut berdiri.

"Jadi lo enggak ngerasain? Lo lupa siapa yang udah bikin penghuni lantai dua itu keluar? Lo lupa seberapa depresinya dia karena perlakuan si bewok waktu itu?" Mengingatnya saja sudah cukup membuatku lupa akan oleh-oleh si Bewok hari ini. "Gue cuma enggak mau kejadian itu terulang lagi, kita enggak tahu siapa yang bakal dibikin enggak nyaman sama dia. Bisa jadi satu di antara kita juga bakal ninggalin tempat ini karena enggak nyaman."

"Sti, kita juga udah sepakat buat enggak bahas itu lagi ya!" sentak si Malik seraya menunjukku. "Udah, diem."

Aku masih tidak terima, ya karena apa yang kukatakan memang begitu kenyataannya. "Gue juga enggak bakal bahas kalau lo semua enggak berlagak lupa sama apa yang udah si bewok itu lakuin, ya!"

"Kita enggak harus perlakuin orang sama kayak dia perlakuin kita, kan? Jadi ya udah." Si Wahyu menginterupsi setelah menelan habis makaron di mulutnya. "Masalah gitu doang sampe diributin. Inget, kita ada temen baru, Akbar, dia enggak tahu apa-apa. Lo enggak mikir ke situ, Sti?"

"Jadi maksud lo ini salah gue?"

"Ya siapa lagi, Sti?"

Diam. Aku hanya tidak menyangka kalimat itu akan kudengar. Bibirku sulit sekali terkatup, mereka yang ada di sana seolah mengusirku karena diam saja seakan setuju akan pernyataan si Wahyu. Mungkin benar, memang aku sumber masalahnya.

"Seharusnya sumber masalah emang enggak kumpul sama sumber masalah lain." Aku menarik diri mundur dan pergi menjauh dari meja makan.

Bodoh, saat itu aku berharap Akbar akan menahanku dan memberikan kalimat menenangkan, tapi sampai aku menaiki tangga dia sama sekali tidak melakukan hal itu. Entah kenapa juga aku tidak masuk ke dalam kamar, dan malah menaiki lantai dua yang kemudian duduk di sofa yang menempel dengan jendela.

Saat itu aku menyesal seketika, kenapa tidak ikuti perkataan si Rian saja, membuka Yang Kusayang sampai malam tiba. Setidaknya meski Rian menyebalkan, dia tidak membuatku menangis. Sedangkan orang-orang yang kupikir akan menyenangkan malah jadi sumber kekecewaan, perasaan senang pulang lebih awal menjadi perasaan paling buruk sekarang.

Tak kusangka tanganku mulai basah karena menopang wajah, mungkin karena aku kecewa realita tidak sesuai yang kusangka. Mungkin aku terlalu berharap orang akan baik karena kuperlakukan mereka dengan baik.

Dan mungkin aku harus lebih dramatis, karena Akbar tiba-tiba di sini.

Tidak bohong, tapi aku memang tengah bersedih. 

°°°

Author:

Halo sobat kueh semua. Pai Bian balik lagi setelah sebelumnya disibukkan oleh dunia kampus. Semoga kamu tetap semangat membaca cerita ini.

Gimana menurutmu chapter ini?

Kira-kira Akbar, Asti, sama kehidupan Kosan Ceria bakal gimana ya setelah kedatangan Bang Bewok? Terus ikutin keseruannya di chapter berikutnya, dan komentar yang banyak di sini supaya saia semangat updatenya, hihi.

Salam,
Paduka Pai Bian.

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now