Part 2 - Yang Patah

1.8K 120 0
                                    

“Cintai dan bencilah seseorang ala kadarnya karena kita tidak tahu kapan dua rasa itu saling bertukar untuk satu orang yang sama.”

***


Hilir angin membolak-balikkan kitab kuning di pangkuan para santri. Ba’da Isya ini biasanya akan diisi dengan pengajian umum oleh Abah Yai Said, tetapi karena beliau memiliki acara, Bu Nyai Saidah yang mengisinya. 

“Makanya ya, Nduk, Le[1] ... hati itu disebut qalb yang berarti berbolak-balik. Ada kalanya hari ini kita cinta, besok sudah benci. Karena itu hati-hati dan nyuwono doa … Ya Allah, Ya muqallibal quuluub, tsabbit qalbii ala diinik, wa ala tho’atikYa Gusti, yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku dalam agama-Mu dan dalam keta’atan pada-Mu. Paham, nggeh

“Jadi, apa-apa yang dirasain sama hati ini harus tujuannya ke Gusti Allah, niscaya semuanya bakal baik. Sebaliknya, kalau orientasi hati dibiarin ngikutin nafsu duniawi ya wes hancur, wong tujuannya cuma diarahkan buat hal yang fana. Apalagi sekedar buat dipenuhin sama laki-laki yang suka ngumbar cinta, wes bubar semuanya. Yo ngajine, yo izzah iffahe. Jadi, hati-hati yo perkara hati.”

Nggeh, Mi.”

Deg!

Seakan tersindir, hati Nisa mencelos mendengar ceramah bu nyai. Dia lalu memandang miris ke arah kitabnya.

Allah, tak cukupkah Engkau menegur dengan kenyataan, sekarang pas ngaji pun Engkau mengingat, kan? bathinnya nelangsa.

Rasanya hati Nisa kembali berdenyut-denyut nyeri. Padahal, kedatangannya ke sini untuk menenangkan diri, mengapa dia justru dibuat patah hati sebesar ini?

Allah ... Allah ....

Nisa berusaha mengontrol hatinya dengan berzikir. Sementara Bu Nyai Saidah menutup pengajian hari ini, Nisa hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Bayangan pertemuannya dengan Faiz tadi benar-benar tak bisa hilang, hatinya pun terus berantakan. Belum apa-apa saja dia sudah lemah seperti ini, bagaimana jika harus bertemu dengan Faiz selama sebulan di sini?

Dia tidak bisa! Dia ingin ke luar dari pesantren ini, pikir Nisa dengan ruwet.

Tepat setelah ngaji berakhir dan santri lainnya membubarkan diri, Nisa akhirnya tidak tahan dan mengutarakan isi kepalanya pada Lifa.

“Aku mau keluar dari pesantren ini, Kak.”

Lifa yang mendengar itu terkejut. Dia yang semula sudah membereskan kitab dan berdiri, kini berjongkok lagi.

“Apa?”

Dia memegang kedua bahu Nisa dengan khawatir. Pasalnya, dia sangat tahu bahwa Nisa bukanlah orang lembek yang disenggol sedikit langsung mengecil. Tapi, sekarang adiknya ini justru menangis dan mendadak ingin keluar dari pesantren setelah menggebu-gebu ingin tinggal di sini? Siapa yang akan berpikir dia baik-baik saja?

“Apa ada orang yang jahilin kamu di pesantren? Kalau iya, bilang! Biar Kakak beresin. Jangan ngomong hal mengerikan kayak mau keluar dari sini. Kamu kan ke sini mau nenangin diri, masa’ belum sehari udah pengen kabur lagi? Padahal, pas dateng tadi, kamu masih antusias. Kenapa, sih? Sikapmu jadi aneh terus setelah nganterin teh tadi. Tiba-tiba balik sendiri ke kamar terus diem mulu. Sekalinya buka mulut, eh malah ngomong mau keluar sambil nangis. Sebenarnya kamu kenapa?”

Menggelengkan kepala cepat, Nisa mencoba berdiri. Pertanyaan-pertanyaan Lifa hanya membuat hati Nisa semakin tercerca. Ini sama sekali tidak membantunya. Dia pun memutuskan untuk pergi saja.

Fazahra AkmilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang