Chapter 6

8 2 0
                                    

Tubuh terduduk dengan kaku. Mata yang terpejam menahan sakit di sekujur badan. Rasanya seperti dikuliti dari ujung kaki hingga ujung rambut meski tidak ada kulit yang terangkat. Sebuah sayatan yang cukup dalam di lehernya menyirami sebilah pisau tertanam di dada. Merah darah memandikan tubuhnya. Malam yang kelam di sebuah rumah. Mengharapkan sebuah kedamaian,lalu tanpa diundang hadir kedamaian yang abadi.

Jeritan histeris Cala menggema di seluruh ruangan rumah. Menggetarkan segala penjuru yang kini tengah berduka bersama-sama. Suara Cala terdengar oleh tetangganya yang berada di samping kanan, kiri, dan depan. Walaupun terpisah oleh sekat-sekat rerimbunan, pilunya tangisan Cala mampu membuat semua orang membuka pintu rumah. Mereka berbondong-bondong datang ke rumah Cala untuk memastikan keributan di tengah malam.

“Permisi, ada yang bisa dibantu Nyonya Cala?” seorang lelaki yang mengetuk pintu rumah Cala tidak mendapatkan jawaban. Tangisan Cala semakin menjadi-jadi, membuat semua orang kalang kabut pergi ke semua sisi rumah. Jendela, pintu belakang, hingga ventilasi di atas pintu tidak luput dari jangkauan warga sekitar.

“Sa-Saki meninggal di dalam,” ujar seorang lelaki paruh baya dengan gagap. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya baru saja setelah mengintip dari ventilasi udara.

Semua orang semakin panik, sebelum mereka mendobrak pintu, pintu terbuka dengan sendirinya. Cala berdiri tidak berdaya di hadapan semua orang. Kedua lututnya kehilangan keseimbangan sebelum dirinya ambruk dan pingsan.

***

Keadaan rumah Cala menjadi riuh sejak tengah malam, banyak orang yang tidak sadarkan diri setelah melihat jasad Saki. Akan tetapi, pagi ini rumah Cala sudah tidak terlalu ramai. Hanya beberapa polisi dan saksi mata yang belum diperbolehkan untuk pulang. Bibir Cala masih terkatup setelah kejadian semalam. Dia sekarang terjebak pada ruangan berwarna serba putih.

Tangan kurusnya ditempeli selang infus yang baru dia sadari beberapa menit lalu. Saat ini pikirannya terbang pada hari lalu. Kemarin, dia baru saja selesai menyetrika semua pakaian kering milik Saki. Kemarin Saki juga membeli parfumnya yang baru. Masih melekat di hidung Cala bagaimana aroma parfum yang tidak berganti sejak mereka bertemu. Dia juga masih mengingat kecupan kecil yang mendarat di pipi kirinya.

Cala menyentuh pipinya, kelopak matanya mulai timbul air. Anak sungai kini mengalir tanpa aba-aba. Cara Saki berkenalan, mengajaknya berkencan, hingga akhirnya sampai pada tahap pernikahan. Semua hal tentang Saki berputar di kepalanya. Semua detail kecil yang bahkan baru Cala pahami saat ini.

Dia pernah bilang, dia tidak akan meninggalkan Cala. Semuanya akan baik-baik saja selama Saki bersama Cala. Lantas, bagaimana sekarang? Sudah terlalu lelah dia sendirian. Kedatangan Saki dalam dirinya memberikan harapan hidup yang sudah lama dia benam. Dalam semalam, semua yang dibangun Cala sudah amblas tanpa sisa. Harapannya pupus sudah.

“Sakiii!” teriakan Cala mengundang para suster untuk mengunjunginya. Cala yang panik tidak karuan membuat para suster kewalahan. Akan tetapi, satu suntikan membuat Cala kehilangan kesadarannya. Dia dipaksa untuk tidur dan dia berharap untuk tidur selamanya.

“Maaf Pak, Nyonya Cala belum bisa ditemui. Kondisinya belum stabil. Anda bisa kembali setelah Nyonya Cala memungkinkan untuk diinterogasi.” seorang suster memberitahu dua polisi yang sedang menunggu Cala di luar.

***

Gundukan tanah yang masih basah dengan taburan bunga belum mampu ditinggalkan oleh Cala. Berat rasanya meninggalkan seseorang yang sangat dicintainya di dalam sana. Dingin, gelap, dan sendirian. Mungkin itu bukan tempat yang lebih baik daripada di sini. Akan tetapi, dia selalu berpikir tidak ada salahnya untuk menebus segala dosa di dunia daripada hidup dengan segala masalah yang tidak pernah selesai. Kebahagiaan hanya datang sesaat, sisanya hanya ada luka dan air mata yang tak kunjung reda.

“Nyonya Cala,” panggil seorang lelaki dengan setelan jas hitam yang berdiri sejak tadi di belakangnya.

“Mari,” ajak lelaki tersebut sembari berjalan pelan menunggu langkah kaki Cala. Dia mengusap anak sungai terakhir yang mengalir dari matanya lalu berjalan beriringan dengan lelaki tersebut.

“Bisakah ini ditunda?” tawar Cala pada lelaki tersebut saat naik ke dalam sebuah mobil.

“Maaf, saya tahu Anda sedang berduka cita. Tetapi pihak kepolisian sudah menunda hal ini terlalu lama. Kami ingin mendengarkan kesaksian Anda untuk mengumpulkan semua bukti. Kesaksian Anda yang paling penting, Nyonya,” jawab lelaki tersebut tanpa membalikkan badan.

Cala terdiam, dia tidak bermaksud untuk menutup mulut. Kematian suaminya sudah menjadi siksa seumur hidup baginya, dia hanya butuh waktu untuk memahami semuanya. Begitu sulit melihat waktu yang bergerak terlalu cepat. Terlalu cepat mengambil senyum dan tawanya. Sepertinya semesta senang melihat Cala dilanda kepedihan.

Jelas, pada waktunya Cala akan berbicara. Tetapi bukan saat ini, rasa duka yang berada di hatinya telah menciptakan luka tanpa darah. Kendati tidak terlihat, rasa sakitnya luar biasa.

“Panggil saya Kurniawan,” lelaki tersebut membalikkan badan ke belakang dan menjulurkan tangan kepada Cala, mencoba berjabat dengan saksi mata pembunuhan.

“Iya. Saya sudah membaca name tag Anda kemarin,” jawab Cala seramah mungkin.

Ponsel Cala bergetar di tas selempang kecilnya, dia mengalihkan perhatiannya pada benda pipih tersebut. Sebuah pesan masuk dari Anya terpampang di layarnya. Dia akan menyusul Cala di kantor polisi dalam sepuluh menit. Cala hanya melihat sekilas lalu menyimpannya dalam tasnya kembali. Dia tidak peduli apakah psikiaternya akan datang atau tidak, itu tidak akan berpengaruh apa-apa.

“Oh iya. Kami juga melibatkan Nona Anya, psikolog Anda, dalam kasus ini,” ujar Kurniawan sembari melihat Cala dari cermin di atasnya.

Cala hanya mengangguk lemah, dia melemparkan pandangan ke luar. Dunia terlihat baik-baik saja di luar sana. Rasa iri muncul di hatinya ketika mobil yang ditumpanginya melintasi tempat piknik keluarga. Hamparan rumput dipenuhi oleh keluarga-keluarga bahagia yang menghabiskan akhir pekan. Dia sudah memasukkan agenda piknik di catatannya minggu lalu, rencananya dia akan membicarakannya pada malam pembunuhan itu. Namun takdir berkata lain, semua agendanya terhapus malam itu juga.

Tentang malam itu, apa yang terjadi sebenarnya? Cala berusaha mengingat dengan keras detail kecil yang mungkin dia lupakan. Terlalu larut dalam kesedihan membuatnya lupa pada kejadian-kejadian sebelumnya. Hanya ada jasad Saki yang terus menancap di memorinya.

Dia mencoba untuk kembali pada menit-menit sebelum kejadian. Cala sempat menutup jendela, melihat beberapa gelas, meminum obat karena sakit kepalanya kumat, dan membuka tirai. Jendela kamar dan tiga orang yang tiba-tiba muncul di halaman belakang rumahnya. Sontak Cala mengingat semuanya. Di padang rumput yang basah, dalam kegelapan malam mereka tenggelam dalam pepohonan.

“Kurniawan,” panggil Cala pada polisi yang sejak tadi fokus dengan ponselnya. Kurniawan terkejut tiba-tiba Cala menyebut namanya. Lelaki itu menoleh pada Cala yang dimakan oleh lamunan.

“Aku mengingat segalanya.” sambungnya.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 06, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

She Knows ThemWhere stories live. Discover now