Chapter 5

6 3 0
                                    

“Jaga kesehatanmu Cala,” Anya selalu memberikan pesan yang sama, meski mereka mengadakan pertemuan dadakan siang ini. Rasa kekhawatiran Anya membuatnya datang ke rumah Cala, padahal baru kemarin Sabtu Cala sudah berkonsultasi dengannya.

Sebenarnya tidak ada perubahan signifikan pada diri Cala. Dia sudah tidak menunjukkan kecurigaan kepada siapa pun, kecuali scenario buruknya tentang Jafar dan Saki. Anya mencoba untuk membantu Cala agar dirinya berpikir positif. Meyakinkan bahwa Saki akan baik-baik saja.

Kepala Cala hanya mengangguk-angguk mendengar wejangan Anya. Padahal sebenarnya dia hanya memasukkan nasihat-nasihat itu dari telinga kanan dan keluar ke telinga kiri. Imajinasinya melayang-layang di udara, membuat perasaannya semakin runyam.

“Hei! Ada apa?” tanya Anya sembari melambaikan tangan ke muka Cala.

“E-eh tidak ada apa-apa,” jawab Cala sedikit terkejut. Dia terlihat kikuk dengan menunjukkan raut baik-baik saja.

“Baiklah. Hubungi aku jika butuh apa-apa.” Anya memeluk Cala sekejap lalu membalikkan badan untuk meninggalkan rumah Cala.

Cala menutup pintu dengan segera. Udara kembali masuk ke paru-parunya setelah sesak melanda karena pertanyaan-pertanyaan Anya. Mata Cala mengedarkan pandangan ke segala ruangan. Tempat yang diharapkan dapat membawa kisah baru penuh kedamaian, nyatanya malah semakin serampangan.

Thea masih tidur siang setelah kelelahan bermain seharian. Saki belum pulang, kabarnya akan lembur di kantor. Entah apa yang terjadi di sana, memilih rencananya sendiri atau mundur dengan pilihan Cala. Kini dengan semua yang telah terjadi, rumah terasa sepi dan tambah melelahkan.

Pintu kamar Cala dibuka karena dia juga ingin mengistirahatkan badannya. Setelah kejadian dengan Rita waktu itu, dia jadi semakin lemah. Hingga hari ini pun dia masih belum pulih dan mengambil cuti dari pekerjaannya sebagai freelance copywriter. Tidak tahu lagi berapa naskah yang sudah dia lewatkan beberapa minggu terakhir. Akan tetapi, semuanya tidak lagi terpikirkan oleh Cala. Kini hanya ada tentang rumah dan keluarganya.

***


Suara-suara dari luar kamar membangunkan Cala. Langkah kaki dan beberapa obrolan kecil. Dengan susah payah dia mengembalikan kesadarannya, meski seperti ada lem yang mencoba menutup matanya. Cala menyingkap selimut bulunya, lalu sadar bahwa hari sudah gelap. Dia bangkit dari ranjang untuk menyalakan lampu kamar.

Pandangannya masih buram meski lampu telah dihidupkan. Sayup-sayup dia mendengar beberapa orang masih berbicara di luar. Akan tetapi, tubuhnya masih kehilangan keseimbangan. Cala duduk di pinggir ranjang sembari memegangi kepalanya yang pening.

Tangannya berusaha menggapai obat kecil di meja kecil samping tempat tidurnya. Suara-suara di lantai bawah semakin mengganggunya tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Seisinya rumah seperti berputar-putar di kepalanya. Tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya. Sudah terlalu banyak rasa sakit di dalam dirinya.

Suara obrolan orang-orang dari luar tidak terdengar lagi, senyap tiba-tiba. Cala masih berusaha mengendalikan dirinya. Dia tertatih berjalan mendekati jendela yang mengarah ke belakang rumah. Jendela dibuka dengan sedikit celah, memperlihatkan rerumputan hijau luas dengan sorotan cahaya bulan yang sedikit menyinari. Sisanya adalah pepohonan yang tidak terhitung luasnya.

Cala menyipitkan mata, memastikan tentang apa yang dilihatnya. Tiga orang berjalan sedikit terburu-buru, muncul dari jalan di samping rumah. Memakai setelan gelap dengan jaket dan topi. Meski sedikit ragu, Cala kembali menajamkan penglihatannya. Dia yakin tiga orang itu adalah sekumpulan manusia karena mereka punya bayangan. Bukan makhluk gaib yang muncul seperti yang dikatakan oleh orang-orang.

Apa mereka baru bertamu di sini? batin Cala. Mungkin saja mereka yang mengunjungi rumahnya malam ini, sempat mengobrol sejenak lalu memutuskan untuk pulang. Mata Cala melirik jam beker yang ada di meja kecilnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ada apa mereka dating selarut ini.

Tiga orang itu berlari kecil menyusuri ladang rumput lalu menghilang di tengah rimbunnya pepohonan. Cala membalikkan badan, ingat bahwa dia belum menyambut suaminya pulang. Sampai-sampai ketiga tamunya tidak diberikan jamuan. Dengan pelan-pelan Cala menuju ke arah pintu. Sangat hati-hati membukanya agar tidak menimbulkan suara yang dapat membangunkan putrinya yang terlelap.

Langkah kakinya yang menggunakan alas terdengar menggema di penjuru ruangan. Sepi membiarkannya berjalan sendiri. Di ujung tangga, Cala menundukkan kepala unttuk melihat lantai bawah. Tidak ada tanda-tanda Saki sedang melakukan aktivitasnya. Mungkin dia sedang berkutat dengan pekerjaannya kembali.

Sedikit gemetar Cala menuruni satu per satu anak tangga. Dia baru menyadari bahwa dia belum makan nasi sejak pagi. Hanya obat yang masuk ke perutnya. Pantas saja dia merasa seperti orang linglung dan rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuh.

Saat sampai di tangga terakhir, gagang pintu ruang kerja diraih oleh Cala. Dia mencoba untuk membukanya. Terkunci. Cala sedikit terkejut. Tidak biasanya. Ruang kerja hanya akan dikunci apabila Saki pergi ke kantor atau memang belum sempat masuk ke sana. Akan tetapi, bukankah dia sudah pulang? Hanya saja dia belum sempat masuk ke kamar Cala.

Cala menoleh ke arah dapur. Udara dingin menusuk ke kulitnya, jendela dapur belum dikunci. Tunggu, sepertinya sejak pagi Cala belum membuka jendela itu. Oh, mungkin Saki yang membukanya agar udara lebih leluasa untuk masuk. Cala bergerak mendekat ke jendela dapur, melongok ke kanan dan ke kiri. Bulu kuduknya meremang karena angina malam yang begitu tidak bersahabat. Dia segera menutup jendela dan menarik tirai.

Pandangannya berhenti pada  empat gelas kecil yang sepertinya baru saja digunakan, sepertinya salah seorang dari mereka membawa anggur. Karena setahu Cala, Saki tidak akan minum kecuali di luar atau dibawakan oleh seseorang. Dugaannya benar, tiga orang tadi bertamu di rumahnya. Sebelum membereskannya, dia menyempatkan diri untuk melihat ke arah pintu depan. Pintunya sudah terkunci.

“Saki,” panggil Cala. Hening, tidak ada jawaban. Dia memanggilnya sekali lagi tetapi nihil. Perasaannya mulai campur aduk, terbayang tiga orang yang tiba-tiba muncul di belakang rumahnya, dan tidak diketahui di mana Saki berada. Jantungnya berdegup dengan cepat. Kakinya berjalan perlahan ke ruang tamu yang dibatasi oleh sekat ruang kerja. Dia tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya sebelum benar-benar berada di ruang itu.

“Saki. Sayang,” panggilnya lagi. Berharap mendapatkan jawaba dari suaminya atau menemukan suaminya sedang terlelap di ruang tamu.

Napasnya berhenti beberapa detik, darah berdesir cepat di sekujur tubuhnya, dan jantungnya terus memompa semakin cepat. Langit telah runtuh mala mini, menimpa rumah dan dirinya. Tidak ada lagi bintang dan rembulan karena mereka telah jatuh berkeping-keping. Kepingannya juga merusak hidupnya. Tidak ada lagi yang tersisa malam ini. Semua sudah berakhir. Dalam sekejap Cala telah kehilangan suara, genggaman tangan, peluk hangat, dan segalanya dari Saki. Karena yang terpampang di depan matanya saat ini adalah Saki yang terakhir kalinya. Jasad tanpa jiwa.

***

She Knows ThemWhere stories live. Discover now