Chapter 4

7 4 0
                                    

Akhir pekan yang kurang menyenangkan, seharusnya Cala bisa duduk tenang dengan meminum kopi atau teh sembari berbincang mesra dengan Saki. Dia sangat merindukan momen seperti itu. Mereka telah kehilangan saat-saat yang lalu setelah terlalu banyak duka dan luka yang hadir tanpa diundang.

Seorang lelaki datang ke rumah Cala dengan wajahnya yang bengis. Kaus hitam dan celana abu-abu panjang membalut tubuh lelaki kurus itu. Kumis tipis di atas bibirnya menambah kesan tegas yang kaku.

Cala mematung di depan pintu ruang kerja. Melihat orang yang semalam baru saja dibicarakan tiba-tiba muncul. Dia melirik pada suaminya yang membukakan pintu setelah mendengar tiga ketukan kecil.

“Boleh aku masuk?” retorika muncul di bibir Jafar disertai senyumannya. Padahal sudah jelas, Cala dan Saki tidak menginginkan kehadiran Jafar.

“Oh ya. Silakan,” Saki mencoba bersikap seperti biasa. Jafar duduk di sofa, menegakkan tubuhnya, dan melihat dua orang yang sedang menatapnya.

“Bagaimana kabar kalian? Terutama istri sepupuku ini, mentalmu aman?” pertanyaan yang sarkasme bagi Cala. Dia sudah hafal perangai Jafar dengan segala omongannya yang tidak membuat orang bahagia.

“Semuanya baik. Mau apa kau?” pertanyaan pedas dilempar ke wajah Jafar yang terlihat semakin geram.

“Masuk ke dalam. Buatkan kopi untukku dan Jafar,” sela Saki untuk meredam atmosfer yang semakin memanas dalam rumahnya.

Cala mendelik pada Saki, sebelum dia melunak dan pergi ke dapur dengan enggan. Kompor segera menyala, menjilat-jilat bagian bawah panci. Mendidihkan air untuk dua gelas kopi. Tangan Cala menuangkan bubuk kopi dengan tidak sabar, enggan sekali membuatkan minuman untuk orang yang menyusahkan.

Terlalu banyak perbandingan dari mulut orang-orang sekitar membuat benih-benih kebencian muncul di hati Jafar. Masih teringat bagaimana ketusnya Jafar saat melihat Saki membeli mobil baru. Wajahnya terlihat semakin berang ketika keluarganya bertanya, “kapan kamu bisa seperti Saki?”

Herannya, meski Saki sudah mengerti bagaimana sifat Jafar, dia masih suka berhubungan dengannya. Kendati mereka berada di dalam kantor yang sama, Cala hanya berharap Saki mengurangi kontak sosial dengan Jafar. Karena terakhir kali mereka bekerja sama, hanya ada pertengkaran di antara keduanya.

“Aku sudah bilang berkali-kali keputusanku tidak bisa diubah!” gertak Saki. Mengejutkan Cala yang membawa nampan dua gelas kopi.

Cala berhenti melangkah. Menatap dua lelaki yang sedang adu argumen. Tangan Jafar mengepal, seperti siap meninju mulut Saki detik itu juga.

“Kenapa kamu harus teriak-teriak? Lihat! Ada sepupu perempuanku di sini. Kita bisa bicarakan baik-baik,” Saki baru menyadari kehadiran Cala di tengah-tengah obrolan mereka. Jafar mencoba menunjukkan raut wajah yang tenang dengan tersenyum simpul.

“Ini kopinya. Silakan diminum,” Cala menyodorkan kopi panas kepada keduanya. Sepanas dua kepala yang duduk di ruang tamu.

“Sepertinya suamimu sangat temperamen ya. Mirip dirimu. Aku berharap kau tidak memberikan pengaruh buruk pada sepupuku,” tawa kecil Jafar masuk ke telinga sepasang suami istri. Memancing emosi Cala yang sudah mati-matian dia tahan.

“Jaga bicaramu!” nampan ditodongkan ke wajah Jafar oleh Cala. Sontak, Jafar langsung mengangkat kedua tangannya.

“Wah, lihatlah sepasang kekasih yang cepat tersinggung ini. Aku hanya membicarakan realitas,” sindir Jafar.

“Apa yang kau inginkan dari kami Jaf?” napas Cala mulai naik turun. Mencoba untuk tidak melemparkan kursi ke atas kepala Jafar.

“Tidak ada. Aku hanya mampir untuk melihat kalian dan menawarkan sedikit hal,” Jafar terbatuk sejenak.

“Tetapi sepertinya, Saki tidak tertarik dengan tawaranku. Sayang sekali,” sambung Jafar.

“Lebih baik kau pergi dari sini. Hal yang perlu kau ingat adalah aku tidak akan pernah tertarik dengan semua tawaranmu sampai kapan pun,” usir Saki dengan penekanan di akhir kalimat.

Jafar kembali melukis senyum, bergantian menatap Cala dan Saki. Melemparkan tatapan muak kepada mereka. Setelah berdeham, dia berdiri dari kursi.

“Baiklah jika itu keputusan kalian. Aku sudah minum kopi tadi. Kalian bisa meminumnya sendiri,” Jafar pergi menuju pintu. Sebelum melangkahkan kaki ke luar, dia masih menyempatkan diri untuk menengok kepada Cala dan Saki.

Cala menghela napas setelah punggung Jafar benar-benar tidak terlihat. Saki menutup pintu, mengurangi cahaya yang masuk ke dalam rumah. Sedikit gelap, sebanding dengan suasana hati mereka berdua.

“Dia masih membicarakan hal yang sama?” tanya Cala sembari duduk di samping Saki.

“Iya. Dia masih membujukku. Aku berencana untuk melaporkannya besok pagi pada atasan di kantor. Aku sudah tidak betah dengan perilakunya,” kepala Saki di sandarkan ke sofa. Mengedarkan pandangan ke langit-langit rumah.

“Kenapa kau masih ikut campur dengan masalah ini? Sudahlah Saki, biarkan dia melakukan apa yang dia mau. Aku khawatir padamu,” ujar Cala. Tiba-tiba rasa takut merasuk ke dalam perasaannya. Tatapan tajam Jafar yang dilempar pada Cala sebelum menutup pintu tadi seperti menyimpan suatu pesan.

“Jangan terlalu dipikirkan. Fokus saja pada kesehatanmu sendiri. Kau sudah minum obatmu?” Saki mengalihkan topik pembicaraan. Kembali membahas hal-hal klise tentang Cala.

“Selalu saja membahas tentang diriku. Ini bukan hanya tentang diriku tetapi tentang kita. Firasatku tidak enak Saki. Apa dia mengancammu?” ada banyak hal yang ingin Cala bicarakan tetapi dia tidak bisa mencurahkan segalanya.

“Tidak. Dia tidak mengatakan apa-apa,” jawab Saki. Mendadak Saki bangun dari duduknya, terlihat kebingungan setelah melirik jam dinding.

“Oh ya, aku lupa. Aku punya pekerjaan. Sebentar,” Saki mengelus puncak kepala Cala yang berisi segala skenario buruk. Bagaimana jika Jafar akan melakukan hal yang lebih dari sekadar mampir ke rumah? Bisa saja dia akan menghentikan mobil Saki saat perjalanan ke kantor esok hari. Kepalanya semakin pening selepas dia menjejalkan semua kisah. Sedetik kemudian, lamunan pendeknya pecah mendengar suara pintu ruang kerja ditutup.

Cala meraih segelas kopi milik Saki, kemudian meminumnya. Rasa pahit masuk ke mulutnya. Menambah kesan getir pada hidupnya yang semakin hari semakin tidak pasti.

Nampannya kembali berisi dua gelas kopi tadi. Niat hati untuk mengembalikannya ke dapur tetapi malah terhenti di depan pintu ruang kerja. Karena penasaran apa yang terjadi di baliknya.

Mungkin akan sedikit lancang tetapi rasa khawatirnya sudah terlalu besar. Celah kecil yang diciptakan Cala saat membuka pintu ternyata tidak disadari oleh Saki. Matanya berkutat pada layar laptop. Menunjukkan rasa keterkejutan lalu dengan cepat menggerakkan mouse ke kiri dan ke kanan. Cala tidak berani untuk menanyakan keadaan suaminya. Dia memilih untuk menutup pintunya kembali, mengunci rasa penasarannya di dalam hati.

Sementara itu, sebuah pesan masuk ke dalam e-mail Saki. Pesan mencurigakan yang tidak pernah Saki ketahui sebelumnya. Dia juga tidak merasa mengenali alamat e-mail tersebut. Namun, Saki tidak gentar. Meski dia mengetahui apa tujuan e-mail tersebut dikirimkan kepadanya. Dia segera menghapus pesan itu. Kemudian, membuka ponselnya untuk mengecek bukti rekaman suara tentang Jafar. Tunggu saja, Jafar pasti akan menemui takdir yang seharusnya.

She Knows ThemWhere stories live. Discover now