Dengan menenteng tongkat itu, Jamillah berjalan dengan waspada, menyusuri ruangan demi ruangan rumahnya yang cukup besar.

Sempat menahan napas sejenak saat kakinya mulai memasuki lorong sekitar tujuh meter menuju dapurnya yang gelap tanpa penerangan, karena sinar biasa masuk dari dapur, sedang di dapur lampu sengaja dimatikan.

Prang!

Suara pecahan kaca dari arah dapur semakin menguatkan dugaannya jika yang berada di belakang itu adalah maling. Ia semakin mempererat genggamannya pada gagang baseball dan bersiap mengarahkan benda keras itu ke arah depan.

Gelap. Ruangan mendadak sunyi, dan ...

Brakk!

Pintu yang semula terbuka, tertutup tiba-tiba dengan keras, hingga membuat Jamillah terjingkat.

Tangannya mulai merambat di dinding mencari saklar, tapi ketika itu ia merasakan benda lunak dan berlendir menyentuh jemari tangannya.

Bau anyir menyeruak begitu saja, membuat Jamillah mual. Ia ingin menarik tangannya, tapi lendir itu begitu lengket hingga Ia cukup kewalahan untuk bisa lepas.

Jamillah mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur tembok. Gelap yang menyelimuti membuat matanya sulit untuk menyesuaikan bias cahaya yang masuk dari arah ventilasi diatas pintu dapur.

Cukup lama Ia termenung, sebelum akhirnya samar-samar Ia melihat sesuatu berdiri di depan pintu.

Sosok yang perlahan semakin jelas be bentuknya itu menggeram marah, suaranya begitu berat dan menakutkan, hingga membuat tubuh Jamillah bergetar kencang.

Brukk!

Tubuh itu tiba-tiba ambruk berikut benda tumpul yang ada di genggaman tangannya. Suara dentuman sampai di telinga Rahmat yang sedang tertidur pulas.

Ia langsung terjaga dan menatap sekitar ruangannya. Matanya mengerjap berulang kali, gelap. Ruangan kamar itu tiba-tiba gelap. Mati lampu.

"Papa! Papa!"

Rahmat terjingkat saat mendengar teriakan dari kamar anaknya. Terhuyung, karena kesadaran yang belum penuh, Rahmat berjalan hendak ke kamar anaknya.

Tangannya menyelusur di pintu kamar, memutar kunci dan menekan gagang hingga pintu kayu itu perlahan terbuka.

"Papa! Mama! hu-hu-hu!"

Tangis anaknya memecah keheningan malam. Di luar, hujan deras disertai angin kencang. Ruangan itu gelap, yang ada hanya kilatan cahaya petir di luar disertai gemuruh yang bersahut-sahutan.

Rahmat berlarian mengikuti kata hatinya. Jerit tangis kedua anaknya membuatnya panik. Pikirannya hanya ingin cepat sampai dan melihat keadaan kedua anaknya di dalam kamar.

Tiba-tiba ...

Bught!

Tubuh Rahmat terpental kebelakang. Ia menyentuh pelipisnya yang terasa sakit. Susah payah Ia terduduk dan berusaha mencari sesuatu untuk membantunya bangkit setelah tadi seperti tertabrak sesuatu.

Tap!

Tangannya meraih sesuatu. Ia tertegun sejenak. Matanya yang mulai menyesuaikan pada kegelapan seperti menangkap sesuatu di hadapannya saat itu.

Tangannya mulai meraba. Seperti menyentuh kain tapi ada sesuatu yang lengket. Hordenkah? tapi kenapa berada di tengah-tengah ruangan? dan seperti ada sesuatu yang keras di baliknya.

Perlahan, Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. Suara tangis anaknya semakin kencang membuat Ia ingin segera bangkit dan berlarian ke arah suara.

Tes-tes!

Sesuatu jatuh tepat di atas wajahnya. Rahmat menarik tangannya dengan cepat. Ia menyentuh cairan itu dan menciumnya.

Bau anyir bercampur bangkai yang membuatnya mual seketika.

"Huekkk!"

"Apa ini? sialan!" makinya.

Kembali, Ia mendongakkan kepalanya. Matanya seketika membeliak saat samar-samar di kegelapan Ia melihat sesosok mengerikan sedang menunduk dan menatap ke arahnya.

Tubuh itu gemetar. Sosok yang pernah Ia lihat itu kini begitu dekat dengan jarak hanya beberapa sentimeter saja. Bau anyir dan bangkai bercampur jadi satu.

Menatapnya dengan bola mata yang hampir terlontar keluar dengan darah yang menetes dari sela-sela dagingnya yang terkoyak-koyak.

Sosok yang kepalanya terikat itu menyunggingkan senyum lebar dengan suara yang berdesis berbisik padanya.

"Jangan ganggu keluargaku!"

***

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now