part 35

5.6K 444 16
                                    

Bismillah

  
              Pocong Itu Bapakku

#part 35

#by: R.D.Lestari.

Semua orang yang berada di tempat menatap tak percaya ke arah Aman. Mereka kagum akan keberanian Aman yang mau mengakui kesalahannya.

"Dan, semenjak Saya berani mengakui kesalahan, Saya tidak pernah di ganggu lagi. Hidup Saya menjadi lebih tenang," ujarnya dengan percaya diri.

Pak RT Johan manggut-manggut tanda mengerti.

"Bagaimana kalau kita adakan pengajian saja, Pak Ustad? dengan harapan doa yang kita panjatkan bisa membuat arwah almarhum menjadi tenang,"

"Dengan begitu, kampung kita menjadi aman dan nyaman," usul Pak RT yang membuat semua warga langsung berucap setuju dengan semangat.

"Ya, Saya setuju saja, Pak. Bagaimana jika kita adakan di Musholla saja?" timpal Pak Ustad.

"Ya, Saya juga setuju," sahut yang lainnya. Suasana menjadi riuh. Rapat berakhir dengan kesepakatan yang di setujui semua orang.

Tepat saat mendekati  waktu zuhur yang hanya tinggal beberapa menit lagi, Pak RT menutup rapat dan semua warga kembali kerumah masing-masing.

Pak Ustad sempat merasa dongkol saat Ia mengajak warga, tapi hanya Aman dan Toing yang mau.

Namun, Ia tak dapat memaksa. Hak semua orang. Ia hanya membuka jalan, mau atau tidaknya itu tergantung pribadi masing-masing.

Pak Ustad bersama Umar berjalan beriringan menuju Musholla, Pak RT, Aman dan Toing mengikuti dari belakang.

"Miris ya, Pak Ustad. Kenapa semenjak terjadinya fenomena ini, warga semakin malas ke Musholla. Padahal seharusnya mereka lebih giat beribadah. Bukannya malah berusaha membentengi diri, ini malah malas-malasan," keluh Umar yang merasa kesal dengan kelakuan warga yang amat susah saat di ajak solat berjamaah.

"Ya, Saya juga sudah capek mengajak warga. Mereka yang notabene dulu amat rajin, semenjak sering di rumah jadi pemalas," timpal Pak RT seraya menghela napas.

"Ya, kita sudah usaha, Pak RT, untuk mau tidaknya biarkan hati mereka saja yang bicara," tutur Pak Ustad seraya tersenyum tipis dan terus melangkah karena waktu zuhur semakin dekat.

***

Angin berhembus cukup kencang di luar rumah. Warga mulai keluar rumah meski hati mereka di selimuti rasa takut yang teramat sangat.

Mereka berjalan berbondong-bondong menuju mesjid, karena malam ini adalah waktu yang di sepakati untuk membaca doa bersama di Musholla.

Pak Ustad sudah bersiap di Musholla sedari maghrib, beberapa ibu-ibu pun sudah datang membawa puluhan kotak kue sebagai pemancing agar banyak warga yang mau ikutan.

Namun, tak seperti yang di harapkan. Gosip tentang pocong seolah tertanam di dalam otak sebagian warga, yang memilih tetap tinggal di rumah.

Wuzzhh!

Angin semakin kencang. Bulu kuduk beberapa orang Bapak-bapak yang berjumlah enam orang itu meremang karena harus melewati kuburan yang merupakan tempat disemayamkan Mulyono, begal yang di keroyok warga.

Mulyono memang di makamkan di kampung itu. Karena pemakaman itu merupakan pemakaman satu-satunya dari beberapa kampung sekitar.

"Perasaanku tak enak, Leh," sahut seorang Bapak dengan meraba tengkuknya.

"Ya, sial memang. Kenapa rumah kita harus melewati kuburan, sih?" keluh temannya yang diajak bicara.

"Ya, kalau ga datang, kasihan Pak RT dan Pak Ustad. Sudah susah-susah mengumpulkan warga, tapi ga ada yang datang," balas Bapak yang rambutnya sudah memutih.

"Ya, semoga saja ini akhir dari ketakutan kita," sahut yang lainnya.

Mereka mengamini ucapan Bapak tadi dan meneruskan perjalanan mereka, tapi tak ada satupun yang berani melihat ke arah kuburan.

Selain gelap, mereka tak ingin tiba-tiba melihat penampakan pocong yang meresahkan warga beberapa hari belakangan.

Namun, saat kaki mereka baru saja hendak meninggalkan makam, rungu mereka mendengar suara misterius dari areal pemakaman.

Swittt-switt!

Seperti suara siulan memanggil. Sayup-sayup berlomba dengan suara angin yang menderu dan bunyi gemerisik dedaunan yang terdengar riuh.

Mereka serentak berhenti dan saling berpandangan.

"Suara apa barusan? apa perasaanku saja?" Bapak berambut putih menatap takut satu persatu temannya.

"Saya juga dengar, Pakde," desis pria berumur sekitar tiga puluh tahunan mengiyakan. Ia mengelus tangannya yang terasa dingin. Entah karena udara yang memang menusuk atau karena takut.

"Sudah-sudah, kita teruskan perjalanan kita," ajak Bapak berkumis lebat berusaha menampik perasaan takutnya dengan setenang mungkin.

Yang lain mengangguki dan kembali melangkah menjauhi kuburan, tapi ...

Switt-swiiit!

Lagi-lagi siulan itu terdengar lirih. Sontak keenam Bapak-bapak itu kembali menghentikan langkah dan saling berpandangan.

Di dera rasa penasaran yang teramat sangar, perlahan ke enam orang itu menggerakkan kepalanya dan menatap ke arah area pemakaman, dan ...

"Wuaaa! pocong!"

Mereka lari lintang pukang, balik badan dan berlomba untuk bisa sampai ke rumah secepat mungkin saat melihat sosok putih berdiri tegak di bawah pohon beringin yang ada di tengah makam. Apakah itu benar pocong Mulyono? atau ...

***

"Indah ... Indah ...," Kartini menggoyang tubuh Indah yang sudah terlelap.

Indah yang masih mengantuk, membuka matanya yang lengket dengan susah payah. Mengerjap beberapa kali dan menatap ibunya heran.

"Ada apa, Bu?" tanyanya saat melihat ibunya yang menenteng kantong kain entah apa isinya.

"Indah tolong jaga adik-adik sebentar, ya? ibu lagi ada perlu sebentar," tutur Kartini selembut mungkin, takut anak-anaknya bangun.

"Ibu mau kemana?" tanya Indah khawatir. Takut ibunya pergi meninggalkan dirinya dan kedua adiknya karena frustasi.

"Mau ke rumah Bude Rum. Mau pinjam duit," alasannya.

"Bu ... besok Indah coba pinjam sama Bu Sudiro, Ibu jangan kemana-mana, sudah malam. Nanti kalau Adik Mulyani bangun, bagaimana?"

Kartini menatap anaknya sendu dan menggeleng pelan.

"Kamu sudah banyak bantu Ibu, lagian kalau Ibu pinjam duit sama Bude Rum, itu akan di potong saat panen ubi, jadi bisa lebih ringan,"

"Bu ... sudahlah Bu, lagian kalau sampai Mulyani nangis minta nenen gimana, Bu?" tanya Indah memelas. Ia benar-benar tak ingin ibunya pergi.

Kartini menghela napas gusar. Ia kemudian beranjak dari pinggir tempat tidur Indah dan menatap anaknya dengan tatapan teduh penuh kasih sayang.

"Di dapur sudah Ibu siapkan beberapa kantung teh celup dan gula. Tolong seduh sebentar dan beri gula secukupnya, terus masukin botol susu Adik, ya, Nak,"

Indah akhirnya mengangguk pelan. Ia pasrah saat ibunya keukeuh untuk pergi malam itu juga.

"Ibu pergi, ya, assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, Bu. Hati-hati,"

Indah mengantar kepergian Ibu di ambang pintu dengan perasaan gundah gulana.

Gadis itu menatap punggung ibunya yang melangkah tergesa. Perasaan sedih kian menghujam batinnya karena tak mampu membantu ibunya, padahal Ia sudah berusaha keras, tapi tetap saja kurang.

Tanpa sadar bulir bening jatuh di sudut matanya, hingga punggung itu hilang dari pandangan, barulah gadis itu masuk kembali ke dalam rumah.

Sedang Kartini tersenyum culas sembari membawa kantong kain di tangannya.

"Malam ini ... akan jadi malam yang sulit dilupakan! balas dendam di mulai!"

****

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now