BAB 10: HELLO, JAKARTA!

Start from the beginning
                                    

"Hei, lo mau ke mana?"

Raline sempat menoleh. Tapi dia tak berhenti, malah berjalan semakin cepat. Dia takut berurusan dengan orang asing yang agak sinting itu.

Raline mencoba menghubungi Eyang Utomo. Nada sambung masih terdengar saat seorang pria tua berjalan tak jauh darinya. Handphone pria itu berbunyi keras. Tepat saat pria itu mengangkat telepon, Raline mendengar sapaan dari seberang handphone-nya.

"Raline?" pria tua yang berdiri tak jauh darinya memastikan. Pria yang ada di hadapannya memang tak jauh beda dengan bayangan Raline sebelumnya. Tentang pria tua bijak, berambut putih dan bibirnya selalu dihiasi senyum.

"Eyang Utomo," sapa Raline. Perasaannya menjadi lebih tenang. Dia menoleh ke segala arah, mencari cowok sinting tadi. Tapi, dia tak lagi melihat keberadaan cowok itu maupun sepedanya. Raline bernapas lega. "Eyang Utomo, kan?" ulang Raline memastikan.

Pria itu mengangguk. Raline langsung mencium tangan pria tua itu. Selanjutnya Eyang Utomo memanggil supirnya agar mengangkat barang bawaan Raline ke mobil Chevrolet Bel Air warna merah.

"Eyang Putri menunggumu di rumah, Lin. Dia sangat ingin ketemu kamu." Eyang Utomo menyebut istrinya.

Mereka segera masuk ke mobil. Kemudian mobil berjalan meninggalkan terminal Lebak Bulus yang semakin ramai pagi itu.

Setengah jam kemudian Raline sudah merasakan pengalaman pertamanya terjebak macet Jakarta. Mobil yang akan menuju rumah Eyang Utomo sedang merayap mengikuti kendaraan lainnya.

Di dalam mobil itu Raline kembali teringat cowok sinting yang ditemuinya tadi. Dia merasa mengalami kejadian sangat aneh pada hari kedatangannya di Jakarta. Raline bersyukur cowok sinting tadi tidak mengejarnya.

"Yah, seperti inilah Jakarta, Raline," ujar Eyang Utomo dari kursi depan, samping supir. "Kamu akan terbiasa dengan kondisi seperti ini nanti."

Raline memandang tumpukan sampah yang tak karuan di bantaran sungai. Ironis, di depan gedung-gedung bertingkat berdiri mewah, di sini sampah mulai menggunung tanpa ada yang peduli. Raline berpikir, kalau banyak orang masih membiarkan sampah seperti itu, banjir tak akan pernah usai menyambangi Jakarta. Tapi di sisi lain Raline merasa bersalah juga. Bukankah selama ini dia juga kurang peduli pada keadaan sekitar? Percuma menuntut banjir ditanggulangi, jika orang-orang tak ikut serta memperbaiki lingkungan.

"Kalau masih capek, tidur saja," saran Eyang Utomo.

Raline menggeleng. Dia masih ingin mengamati keadaan kota yang baru pertama kali dikunjunginya ini. Kota yang akan menjadi rumah barunya sampai waktu yang belum ditentukan.

"Tadi Subuh ibumu nelepon. Tanya, kamu sudah nyampe apa belum." Eyang Utomo mengabarkan. "Pas kamu nyampe terminal tadi, Eyang sudah kabarin ibumu."

Raline bernapas lega karena dia sempat lupa memberi kabar pada Ibu. Setidaknya ibu tak khawatir menunggu kabar darinya. Tapi, kabar darinya pasti akan membuat ibu lebih lega. Sejenak dia mengetikkan pesan singkat lalu mengirimnya pada ibu.

Dari luar kaca tampak bus Transjakarta melintas di jalurnya. Raline mengamati bus yang selama ini menjadi angkutan umum andalan ibukota. Saat yang bersamaan pesan balasan dari ibu masuk. Ada ucapan syukur dan sepenggal doa agar Raline betah tinggal di Jakarta dalam pesan itu.

Mobil yang ditumpangi Raline menuju gerbang tol. Dia bisa melihat seorang pengemudi yang membuang karcis tolnya sembarangan. Lebih parahnya di tempat yang sama karcis tol serupa banyak berserakan. Kota ini benar-benar dipenuhi orang-orang yang kurang peduli terhadap hal-hal sepele.

Setelah melaju kencang di jalan tol, mobil kembali menurunkan kecepatannya ketika memasuki jalan masuk perumahan.

"Sudah dekat, kok," kata Eyang Utomo sambil menoleh pada Raline.

DEAR UMBRELLAWhere stories live. Discover now