06. Raja

5 3 0
                                    

Happy reading

.

.

.

"Bundaa, kapan aku bisa mendapatkan biola?"

Mahenraja yang saat itu masih berumur enam tahun merengek kepada Bunda-nya sembari menunjuk-nunjuk toko alat musik dengan jarinya. Mereka berdua berada tepat di depan toko alat musik. Kebetulan, toko itu memajang biola di tempat yang bisa dilihat dari luar toko.

Mereka baru saja pergi dari pasar dan ingin pulang, dan memang setiap ke pasar atau pulang dari sana mereka selalu melewati toko itu.

Setelah beberapa waktu merengek, ia yang tak kunjung dihiraukan pun akhirnya diam. Ah, sepertinya Mahenraja saat itu sudah tahu kalau Bunda tidak akan membelikannya alat musik yang ia inginkan sekarang. Mungkin tahun depan ia akan mendapatkannya.

"Bunda, kapan aku bisa mendapatkan biola?" Mahenraja bertanya sekali lagi, berharap mendapat jawaban yang pasti.

Terdengar helaan napas pelan dari sang Bunda. "Raja, bersabarlah. Sebentar lagi kamu akan memilikinya."

Dan akhirnya Mahenraja menyerah. Ia kembali melangkah seperti orang yang putus asa. Kakinya menendang-nendang kerikil yang ia temui.

Namun, dalam kelakuannya yang tampak kesal, Mahenraja bahagia, karena jika ia bersabar, ia akan segera mendapatkan alat musik impiannya itu.

°•°•°

Brukk

"Aduhh!"

Mahenraja langsung terbangun sembari menahan kesakitan. Dia terjatuh dari kasur tempatnya tidur. Itu pasti sangat sakit.

Masih sedikit linglung karena baru saja bangun dari tidur secara paksa. Nyawanya bahkan belum terkumpul sedikit pun.

Ia melihat ke arah jam beker di atas meja belajarnya. Ah, ternyata masih dini hari. Pantas saja ia masih terasa mengantuk berat. Dan tak terlihat bayangan sinar matahari dari jendela.

Saat ingin kembali naik ke tempat tidurnya, Mahenraja teringat, dia baru saja memimpikan kenangan masa lalunya.

"Apa-apaan itu? Mimpi itu datang lagi?"

Mimpi itu terus menghantui dirinya. Dari setelah bunda meninggal hingga sekarang. Seolah-olah Mahenraja memang tak diizinkan untuk melupakan sekelebat memori tersebut.

Mahenraja memejamkan matanya dan mencoba untuk kembali tidur.

Dua puluh menit berlalu, tetapi Mahenraja belum juga terlelap. Ia memeluk guling yang berada di sebelah. Matanya terpejam kuat, sebab memori masa lalunya kembali terputar di kepalanya.

"Raja, lihatlah pelangi itu." Sang Ibunda menunjuk ke arah langit yang dihiasi warna-warni pelangi.

Mata Mahenraja mengikuti arah yang ditunjuk.

"Itu sangat indah, Bun," kagum Mahenraja pada pelangi yang ia lihat.

"Raja, apa kamu tahu? Pelangi itu sangat jarang tampak. Prosesnya lama sekali. Namun, usahanya yang lama membuahkan hasil yang indah. Begitu pula dengan perjuangan manusia. Mungkin, prosesnya akan lama, tetapi pasti akan membuahkan hasil yang memuaskan."

Mahenraja yang saat itu masih kecil tak terlalu memahami kata-kata Bundanya. Ia hanya mengangguk-angguk, lalu matanya kembali menatap warna-warni indah itu.

Air mata Mahenraja mengalir setelah kepalanya memutar sedikit memori yang disimpannya selama ini. Sesak di dadanya tak dapat ditahan lagi. Ia merindukan sosok yang pernah ada di sampingnya, mendampinginya belajar akan dunia.

"Bunda, aku rindu dipanggil 'Raja' olehmu, aku rindu dipeluk kala aku pulang dari sekolah, aku rindu diajari berbagai filosofi dunia yang aku tak mengerti," batinnya meronta.

Malam itu, hanya terasa hampa dalam hatinya. Air matanya terus-menerus keluar sampai rasanya ingin habis. Mahenraja yakin matanya akan bengkak besok pagi.

Tak lama, Mahenraja terlelap. Kepalanya sempat pusing saat menangis. Dan mungkin, rasa sakit itu yang membuatnya tertidur.

°•°•°

"Aku ingin hanya bunda yang memanggilku 'Raja'. Selain bunda, tidak ada yang boleh!" tegas Mahenraja dengan air mata bertetesan. Mengalir tanpa henti.

Dia mengatakan itu kepada semua orang yang mengenalnya sebagai "Raja".

"Sekarang panggil aku dengan 'Mahen' saja!" tegas Mahenraja kembali.

Mahenraja kala itu baru saja kehilangan sosok yang paling berharga dalam hidupnya. Bunda.

Menyakitkan. Memang. Sangat.

Tidak ada yang pernah tahu keadaan Mahenraja saat itu. Mungkin hampa yang abadi? Atau hancur berantakan? Entahlah.

Mahenraja menangis tersedu-sedu di samping nisan ibundanya.

Sementara dirinya yang lain tak sanggup dirinya di masa lalu. Otaknya terus memaksa Mahenraja untuk mengintip kenangan-kenangannya.

Pemuda tersebut duduk di kursi teras. Sesekali menghela napas berat. Tadi, dia berniat untuk berjalan-jalan entah ke mana, hanya mengikuti trotoar. Tetapi rencananya gagal setelah Papa mencegahnya pergi. Katanya ada yang ingin ia bicarakan.

Setelah beberapa saat Mahenraja menunggu sembari melihat pemandangan sore hari, akhirnya yang lebih tua membuka suara.

"Mahen, pengobatanmu dipindahkan ke Singapura."

To be continued ...

***

***

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.
(Un)true Felicity || Heeseung (END)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora