02. Nada dan Sebuah Rasa

13 4 0
                                    

Happy reading

.

.

.

"Kak Jiwa!"

Suara teriakan terdengar setelah pintu terketuk tiga kali. Jiwa yang sedang duduk termenung di kursi ruang makan sontak berdiri karena terkejut.

Bergegas mendatangi Sajua yang berada di depan pintu rumah, dibukanya pintu untuknya. Terlihat Sajua yang membawa beberapa buku sembari berdiri.

"Ini sudah malam, Ju. Kamu mau apa?" tanya Najiwa bingung. Dalam hatinya bertanya-tanya, mengapa remaja laki-laki ini kemari malam-malam? Tepatnya pukul 20.45 Sajua mengetuk pintu rumah miliknya.

"Kak Jiwa, aku mendapat PR, tetapi aku tak bisa mengerjakannya sendiri. Boleh bantu?"

Sajua tersenyum dengan wajah polosnya; merasa tak bersalah mengganggu yang lebih tua.

Sementara yang dimintai tolong ingin menolak karena sudah malam, tapi tak enak hati. Jarang-jarang Sajua meminta pertolongannya, sedangkan ia sendiri sering mendapat bantuan dari Sajua. Apa lagi sekarang sudah malam. Sajua jauh-jauh ke sini hanya untuk meminta bantuan mengerjakan tugas sekolah.

Akhirnya Najiwa mempersilakan laki-laki itu masuk ke dalam rumahnya.

°•°•°

Ketika seseorang selalu berjalan berdampingan dengan pasangannya, laki-laki ini masih berjalan sendiri.

Mahenraja.

Berjalan mengelilingi taman sembari menenteng alat musik kesayangannya. Tubuhnya dibalut dengan hoodie biru tua yang sudah menjadi favoritnya sejak tiga tahun lalu. Masih muat di tubuhnya yang kurus.

Dia menatap ke segala arah guna mencari tempat duduk yang kosong. Dirinya membutuhkan ruang untuk memainkan beberapa nada dengan biola miliknya.

Sebagian hidupnya hanya dipenuhi dengan nada-nada indah yang ia mainkan. Sisanya hanyalah keheningan semata.

Selepas mendatangi sebuah bangku, Mahenraja tidak langsung duduk begitu saja. Mahenraja melepas tudung hoodie-nya, segera memposisikan biolanya untuk dia mainkan.

Tangannya mulai mengalunkan nada untuk hari ini. Untuk segalanya di hari ini. Meluapkan semuanya di bawah langit senja. Menikmati semua yang ia lakukan.

Alunan yang merdu mengundang beberapa mata untuk menyaksikan permainan musiknya. Selalu begitu walaupun tak setiap hari.

Tiga menit berlalu, Mahenraja tak berhenti menggesek alat musik itu. Dia belum lelah. Semuanya ia lampiaskan dalam satu kali permainan musik.

Hari ini mungkin tak seberat hari-hari yang lainnya, tetapi entah mengapa hatinya resah. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.

Dan permainan musik itu selesai. Suara tepukan tangan mengudara memberikan apresiasi kepada pemilik biola.

Mahenraja tersenyum menanggapinya. Sudah biasa dengan semua itu.

°•°•°

Dukk

Suara pintu yang ditutup dengan sedikit kasar. Mahenraja lelah setelah hampir seharian berada di luar rumah.

(Un)true Felicity || Heeseung (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang