04. Sunset

5 4 0
                                    

Happy reading

.

.

.

Sepulang dari tempatnya bekerja, Najiwa pergi berjalan-jalan mengelilingi kota. Tidak seluruhnya karena dia berjalan kaki. Tak mungkin jika Najiwa berjalan mengelilingi seluruh tempat di kota yang luas ini dalam satu waktu.

Matahari sudah di ujung. Namun, masih menampakkan seluruh bagian dirinya. Belum terbenam, masih di batasnya.

Perempuan itu berjalan dan terus berjalan. Kakinya sakit; kelelahan. Sampai dia menemukan sebuah taman yang memiliki bangku.

"Akhirnya, aku bisa duduk," batinnya lega. Ia mengistirahatkan tubuhnya di atas bangku taman. Bersandar sembari melepas penat.

Najiwa menarik panjang napasnya, menghirup udara segar di sekelilingnya, lalu menghembuskannya, mengeluarkan segala kelelahan yang ia peroleh hari ini.

Gadis itu menatap arahnya matahari. Sepertinya sebentar lagi akan terbenam.

Langit sudah mulai berwarna jingga.

Namun, atensinya seketika beralih pada pemuda berambut hitam yang sudah mulai memanjang, membawa biola di tangannya, serta memakai hoodie. Berdiri tak jauh dari posisi Najiwa berada. Sekitar sepuluh meter dari pandangannya.

Taman ini tak sepi, tapi tak terlalu ramai juga.

Najiwa melihat Mahenraja yang mulai menggerakkan tangannya, memainkan nada-nada indah. Najiwa dibuat kagum mendengar alunan dari alat musik yang dimainkan oleh Mahenraja.

Pria itu selalu membuat kagum Najiwa. Parasnya, suaranya, tingkahnya, bakatnya, dan masih banyak lagi, semuanya sempurna di mata seorang Najiwa. Sungguh.

Oh, Najiwa belum mengetahui apa yang baru saja terjadi pada Mahenraja. Alunan-alunan itu terdengar menyedihkan. Pasti hari yang buruk bagi Mahenraja.

Beberapa menit Najiwa dibuat terkagum-kagum oleh permainan musik pemuda tinggi itu. Bahkan orang-orang di taman sedari tadi mengagumi pemuda itu.

Oh, tolong Najiwa sekarang, sepertinya dia akan pingsan di tempat. Kharisma Mahenraja saat memainkan biola membuatnya jatuh hati untuk yang kesekian kalinya.

Tanpa sadar, waktu berjalan begitu cepat. Mahenraja selesai dengan lagunya. Ingin sekali Najiwa menghampirinya, memanggil namanya, dan mungkin berbincang-bincang dengannya, tetapi semua itu hanyalah khayalannya semata. Nyatanya, Najiwa tak memiliki keberanian sama sekali untuk sekedar menghampiri dan menyapa.

Tetapi, senja ini tak akan pernah dilupakannya.

°•°•°

Tok tok tok

Suara ketukan pintu. Pada malam hari. Lagi?

Tadi Najiwa baru saja membantu Sajua dengan pekerjaan rumahnya, lalu dia sudah kembali ke rumah. Sekarang siapa yang mengetuk pintu itu?

Dengan segala rasa malasnya, Najiwa melangkahkan kakinya ke arah pintu depan rumahnya. Najiwa harap ada orang di luar yang mengetuk pintu itu. Jika tidak, Najiwa mungkin hanya salah dengar, atau mungkin tidak. Abaikan. Karena setelah membuka pintu, Najiwa mendapati seorang pemuda bertubuh jangkung. Jika kalian mengira bahwa dia adalah Mahenraja, kalian salah. Pria di hadapannya adalah Kakak laki-lakinya.

"Ada apa kau kemari?" Terdengar ada sedikit emosi pada pertanyaan Najiwa.

Pertanyaan Najiwa tak mendapat balasan. Lawan bicaranya diam menatap dalam mata Najiwa.

Setelahnya, tindakan sang Kakak membuatnya terkejut. Kakaknya memeluknya, tanpa sepatah kata keluar dari mulut lelaki yang lebih tua dari Najiwa itu.

Najiwa ingin menolak, tetapi rindu tak bisa berbohong. Beberapa tahun tak bertemu membuatnya rindu. Lantas, ia membiarkan Kakak satu-satunya itu memeluk dirinya.

Najiwa merasakan emosi sedih meluap-luap. Tak bisa dideskripsikan. Tetapi, untuk sekarang, ia masih menyayangi Kakaknya itu. Walaupun laki-laki itu bersama ibu pernah meninggalkannya sendirian, rasa kekeluargaan masih ada dalam diri Najiwa.

Biarkan rindu meluap-luap sejenak hingga rindu itu terobati.

°•°•°

"Jadi, bagaimana kabarmu?"

Kak Sabian. Rindu sekali Najiwa dengan suaranya. Sudah lama tak mendengar suara itu.

Kini, mereka berdua duduk di kursi ruang tamu. Meski malam sudah larut, mereka tetap memaksakan diri untuk membuka mata.

"Baik, bagaimana denganmu dan ibu?" Haahh, apakah Najiwa harus menanyakan kabar ibunya itu?

Sabian hanya mengangguk tanpa suara. Namun, setelahnya ia berbicara, "Ibu sakit."

Apa Najiwa harus berempati untuk yang satu ini? Mungkin, iya. Karena sebagaimana pun ibu, ibunya tetap ibunya, orang yang pernah berjuang saat melahirkannya.

"Sakit apa?" tanya Najiwa pada sang Kakak.

"Aku tidak tahu, ibu tak mau dibawa ke rumah sakit atau dokter. Dia hanya terbaring di atas kasur," jawab Sabian seadanya. Raut sedih Sabian bisa dibaca oleh Adiknya. Sementara Najiwa sendiri hanya bisa diam.

Beberapa menit hening.

Sabian kembali membuka suara.

"Maaf."

Satu kata dari Sabian membuat Najiwa kebingungan.

Maaf untuk apa?

Seakan bisa membaca pikiran Adik perempuannya, Sabian melanjutkan perkataannya.

"Maaf, waktu itu, aku tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti ibu. Maafkan aku pernah meninggalkanmu berjuang sendiri. Setelah kami berdua meninggalkanmu, aku selalu mencoba untuk menemuimu, tetapi selalu gagal karena ibu selalu menghalangiku. Dan akhirnya, hari ini aku berhasil," lanjut Sabian panjang lebar, matanya sayu menatap mata lawan bicaranya.

"Kak Bian," panggil Najiwa pelan, tetapi masih dapat didengar.

"Kak Bian tidak salah, begitu pun ibu." Sepertinya, Najiwa sengaja menjeda ucapannya.

Sabian sendiri bertanya-tanya, lantas, siapa yang salah?

"Takdir juga tidak dapat disalahkan, memang sudah seperti ini jalan ceritanya. Mau bagaimana lagi? Oh, ya, kapan-kapan biarkan aku bertemu ibu, aku sudah rindu walaupun dia sudah tak menginginkanku lagi."

To be continued...

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
(Un)true Felicity || Heeseung (END)Where stories live. Discover now