"Huh?"

"Maksudku, kau terlalu baik untuknya, terlalu 'baik',"

Yoongi akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Jimin dengan mata memicing," Jadi itu pujian atau ejekan?"

Jimin menjawab dengan mantap, "White lies,"

"PARK JIMIN!"

Lupakan tentang basa-basi-apa sebenarnya tujuan dari sebuah kehidupan?

Jimin telah mengambil kesimpulan, "Menyiapkan kematian."

°°°

Tidak mudah bagi Yoongi saat kembali ke perusahaan.

Bukan karena suaminya meninggalkannya dalam keadaan buruk, tetapi bagaimana untuk menenangkan hatinya sendiri kalau itu adalah pilihan yang benar-benar dirinya inginkan, bahwa kedua anaknya yang selama lima tahun selalu ada dalam pengawasannya, akan baik-baik saja selama ia bekerja-dan itu bukan karena ia tak mempercayai suaminya, sungguh. Hanya saja instingnya sebagai ibu terkadang menggelegar tak kendali dan Yoongi cukup kewalahan sampai terkadang terbingung sendirian. Menangis diam-diam di antara rasa bersalah yang dipertanyakan.

Saat malam Jimin akan mengatakan, "Tenang saja, tidak ada yang menuntutmu untuk memilih antara perusahaan atau anakmu," jadi tenanglah, Jimin adalah suami yang pengertian dan masuk akal, terlepas dari tingkat kewarasannya yang mengkhawatirkan. "Dan jika ada itu bukan aku, dan jika ada maka kau lempar saja kepalanya dengan sepatu hak tinggimu."

Jimin tidak sepenuhnya bisa mengerti dilema yang dialami istrinya sebab dia bukanlah seorang ibu, tapi ia tahu itu berat meski bukan karena bisa membayangkan dirinya dalam posisi Yoongi, melainkan melihat sendiri bagaimana wanita itu berjuang. Yoongi tidak mengabaikan anak mereka demi perusahaan, tidak ada ibu yang benar-benar sengaja memilih pekerjaan di atas mengurus anak mereka dan itu bukan kejahatan jika melangkahi stereotip yang dibangun berabad di masyarakat.

Sederhana saja-itu hanya karena manusia diberi pilihan dan mereka memilih.

Jimin tidak keberatan bagaimana lingkungan sosial perusahaan memandangnya dan mungkin itu berbeda dengan Yoongi, jadi yang pria itu bisa lakukan hanyalah menunjukkan pada sang istri bahwa ia tidak menyesal mundur dari perusahaan, tidak menyesal menjadi pengangguran dan jelas jauh dari menyesal ketika menghabiskan lebih banyak waktu dengan Yeoji dan Jihwa.

Orang lain tidak perlu tahu, dan bukan seolah ketika mereka yang tahu akan paham, jadi biarkan saja. "Selama mereka tidak mengatakan betapa pecundangnya aku di depan wajahku sendiri, nyawa mereka aman."

Tapi sayangnya selalu ada manusia gabut yang bosan hidup.

Meski Jimin sangat benci pesta sosialita yang sering tidak bisa dihindari sang istri, bukan berarti dia benar-benar tidak pergi dan meninggalkan istrinya datang sendiri. Meskipun itu berarti datang paling akhir dan pulang paling awal.

"Selamat malam Presdir Min dan mantan Presdir Park," seorang pria yang wajahnya kabur dalam ingatan Jimin menyapa dengan lagak orang kaya pada umumnya. "Tidak kusangka setelah mengundurkan diri dari perusahaan kau masih punya muka datang ke pesta ini," katanya seraya menatap Jimin dengan pandangan merendahkan.

Jimin memutar bola matanya. Sungguh merasa kesal sebab dia sendiri  datang dengan terpaks kemari namun, masihkah ia harus berurusan dengan manusia kurang hiburan? Jimin hanya ingin mencicipi alkohol makan kemudian pulang!

Jimin tidak langsung menyahut, menunggu kalimat busuk macam apa lagi yang akan dikeluarkan pria di hadapannya yang bahkan masih ia tidak ingat siapa.

Pria itu melirik Jimin, dari atas ke bawah dengan tatapan mencemooh yang ketara. "Semua orang di sini tahu pengunduran diri itu hanya alasan, kau dipecat dari Taeyang karena memang orang sepertimu hanya pantas berada di tempat sampah,"

Parallel Lines 3 [Completed]Место, где живут истории. Откройте их для себя