Jika ada yang bertanya padanya semacam 'Bagaimana kabarmu?' Jimin terkadang berujung tak menjawab sama sekali, sebab orang yang bertanya sudah keburu lewat sebelum dirinya berhasil memilah jawaban. Jelas, itu hanya pertanyaan basa-basi yang kebanyakan orang dapat dengan mudah menjawab-hanya tinggal mengikuti buku teks, dan sejak 'Baik' adalah jawaban di urutan pertama, secara tidak sengaja semua orang merasa harus menggunakannya di setiap kesempatan meskipun kondisi mereka saat itu buruk, atau bisa sangat-sangat buruk.
Jimin mulai bertanya-tanya apakah sebuah basa-basi sungguh diperlukan dalam kehidupan?
Itu mungkin dibutuhkan untuk bersosialisasi-dia langsung menyahut dengan sendirinya.
Hanya saja ketika ia menjawab bahwa 'Buruk', 'Tidak terlalu', 'Kacau', 'dan yang paling positif hanya mencapai 'Biasa saja', tatapan aneh ia terima, seakan mereka mengoreksi dalam diam, dengan mata mereka bahwa bukan seperti itu, bukan itu jawaban yang seharusnya-jadi Jimin hanya menyimpulkan bahwa mereka tidak benar-benar ingin tahu.
Itu hanyalah basa-basi. Sekali lagi.
Dan dia hanya mendengus, tidak berminat memikirkannya lebih jauh.
Itulah kenapa dia tidak pernah bertanya balik, bukan karena merasa itu tidak perlu-meski itu juga benar, hanya saja ada bagian dari dirinya yang menyeringai puas ketika dirinya berhasil melenceng dari ekspektasi orang lain-mungkin itu juga yang membuatnya dengan mudah memutuskan untuk menikahi Min Yoongi. Itu mudah mengetahui apa yang orang lain inginkan ketika mereka pun dengan jelas menunjukkannya, berharap ia peka untuk tahu dan bertindak sesuai dengan keinginan mereka, tapi daripada mengikuti garis yang sudah ditentukan, Jimin lebih senang untuk melakukan sebaliknya, membuat mereka kesal dan tidak puas-tidak masalah selama dirinyalah yang puas.
Pada dasarnya itu hanya karena dia benci dikendalikan. Heck. Bahkan kedua orang tuanya sendiri memberinya kebebasan penuh. Maka persetan dengan orang lain.
Jadi Yoongi mengomentarinya sebagai seorang non bussinessman sejak lahir.
Jimin hanya menyeringai, berpikir bahwa itu wajar untuk menjadi dirinya sendiri, wajar jika hidup berjalan tidak sesuai dengan dirinya inginkan dan itu wajar untuk melepas ketika itu terlalu membeban, bahkan ketika orang lain mengomentarinya sebagai keledai.
"Jimin, kau tahu itu lucu ketika kau bersikap paling tak acuh pada sekitar tapi paling dalam ketika berpikir tentang kehidupan," tiba-tiba Yoongi nyeletuk, baru pulang bekerja dan mendapati tidak ada yang menyahut.
Hanya untuk mendapati sang suami melamun di sofa dengan TV menyala dalam mode tanpa suara. Entah apa maksudnya. Bukan hal yang aneh, sejujurnya.
"Sebentar, aku tidak tahu itu pujian atau ejekan,"
"Itu pujian bodoh,"
"Ohh," Jimin menanggap singkat, terlihat berpikir sebentar lalu dengan apik melanjutkan, "Terima kasih, kalau begitu?" Di
Yoongi menarik kedua telinga Jimin dengan gemas dari belakang sofa, melompat dengan tidak berbudi luhur kemudian meletakkan kepalanya di paha Jimin, menjadikannya bantal dadakan, telungkup dan menyamankan dirinya sendiri. Wanita itu, bahkan belum melepas sepatu hak tinggi dan pakaian kerjanya.
"Aku diundang ke pes-"
"Jangan libatkan aku," Jimin menyahut, terkesan histeris meskipun nada bicaranya datar.
Yoongi menyahut tanpa menatap Jimin, "Salahkan saja kau suamiku,"
"Kalau begitu ajak saja Taehyung,"
"Dia suami Jungkook, bodoh,"
"Bagaimana kalau Hoseok Hyung?"
"Dan memulai rumor perselingkuhan?"
"Itu hanya akan menjadi rumor, aku tahu Hoseok Hyung tidak mau denganmu,"
YOU ARE READING
Parallel Lines 3 [Completed]
FanfictionSeri ketiga sekaligus terakhir dari 'Parallel Lines'. Park Jimin tidak punya sesuatu untuk dikatakan tentang kehidupannya sebagai sosok suami, seorang ayah dan juga pemimpin perusahaan besar berjudul dadakan. Dia hanya punya kisah untuk diceritakan...
![Parallel Lines 3 [Completed]](https://img.wattpad.com/cover/190950187-64-k620109.jpg)