15. Mereka Yang Kurang, Mampu Bersyukur

77 15 0
                                    

-Happy Reading-



































"Makasih ya Dan".

"Sama-sama, pulang dulu ya".

"Iya hati-hati, Pak hati-hati juga yang bawa mobilnya, ngak usah ngebut udah masuk magrib ini". Ujar Sekala pada supir pribadi keluarga Haidan. Si Bapak hanya tersenyum tipis tapi entah rasanya begitu hangat dipandangi oleh Sekala.

"Iya Aden".

"Aduh jangan panggil Aden dong Pak, Kala aja jadi gimana gitu rasanya". Ujar Sekala tidak enak. Masalah nya dia ini kan anaknya bukan anak orang kaya, jadi dipanggil seperti itu rasanya seperti dilangitkan.

Si Bapak kembali tersenyum lalu tampa sadar tangan nya keluar mengusap pelan surai Sekala.

"Jadi inget anak Bapak kalau liat kamu, ya sudah kalau begitu Bapak sama Den Haidan pulang dulu ya Kala". Ucap Bapak supir tersebut.

"Kala!".

"Hah? Iya?". Agak kaget karena panggilan dari Haidan mengalun.

"Malah ngelamun, ntar kesambet. Gue pulang dulu ya".

"Iya, hati-hati ya". Setelah ucapan terakhir dari Sekala, mobil sedan putih tersebut mulai melaju kembali meninggalkan kediaman Abimanyu.

Sekala masih terpaku atas perlakuan supir Haidan tadi.

Menyentuh surai yang diusap lalu senyum tipis terpatri.

"Kayak dielus Bapak".

"Kala!!!".

Greppp

Menoleh ke belakang karena teriakan dari suara yang tidak asing serta badan yang hampir limbung karena diterjang seseorang yang kini sudah mendekap erat daksanya.

Ibu ternyata.

Membalas tak kalah erat pelukan sang Ibu, Sekala kecup pucuk kepala nya karena tinggi Ibu yang lumayan tenggelam kalau berada dalam peluknya seperti ini.

"Anak Ibu sudah pulang". Ucap Ibu sembari mengecup setiap inci wajah bayi putranya, mengelus surai yang menutupi kening.

"Hehe, Kala nya Ibu udah pulang".

"Ya sudah kita masuk ya, magrib, sini barang nya Ibu yang bawa".

"Noooo, biar Kala yang bawa. Ringan kok". Ujar Sekala tersenyum penuh.

Berada di samping Ibu seperti ini selalu jadi ketenangan yang mengalahkan semua bising bagi Sekala.

Lantas daksa keduanya mulai melangkah masuk ke dalam rumah minimalis ini. Rumah yang jadi saksi tak bersuara setiap tangis Sekala pecah maupun tertahan.

Di tengah mega di lakuna nabastala jingga, Sekala kembali merasa punya rumah bernama Ibu.

-Senja Terakhir-

Malam yang semakin kelam semakin sepi Haidan rasakan, mau tidur juga tidak bisa. Terlalu bosan hanya bermain ponsel.

Tubuhnya yang kini terdampar seperti orang tersesat di pulau asing itu sudah tidak berdaya di atas kasur. Menghela nafas gusar beberapa kali, pikirnya kalau ada Sekala pasti tidak akan sebosan ini.

SENJA TERAKHIRDonde viven las historias. Descúbrelo ahora