6. Bertemu Lagi

122 16 0
                                    


-Happy Reading-
































Bahkan riuh suara kendaraan yang beradu di jalanan masih bisa kalah dengan bising yang ada di kepala Sekala.

Berkendara dengan tangan terluka seperti ini, ternyata cukup sulit.

Hawa yang semakin membeku mampu mengusir hangat yang sempat ingin mendekap. Hingga pada kejadian masa lalu kembali melintas.

"Apaan sih, kok itu lagi yang lo ingat Ka". Monolog Sekala.

Kembali fokus pada jalan yang ada di depannya.

Berteman dengan luka memang sudah seperti berteman dengan sutra bagi Sekala.

Segala pahit yang ia kecap masih mampu untuk ia dekap dengan canda, biarpun mungkin kebanyakan orang lain di luar bertanya-tanya bagaimana bisa anak seperti Sekala masih bisa bertahan sampai sekarang.

Lantas setelah memarkirkan kendaraan di halaman rumah Sekala segera masuk ke dalam.

Seperti biasa pandangan nya langsung tertuju pada Bapak yang tertidur di sofa tampa selimut atau apa pun.

Menghiraukan bau alkohol yang pekat menguar di indra penciuman, Sekala melangkah memasuki kamarnya, mengambil bantal dan selimut.

Lalu kembali keluar, mendekati sang Bapak yang tampak pulas. Dengan hati-hati Sekala angkat kepala nya untuk diberi bantal serta menyelimuti hingga batas dada.

"Kapan, Kala bisa peluk Bapak?". Pertanyaan tampa jawaban hingga bertahun-tahun terlewati, sempat terbesit di pikiran Sekala mungkin saja kan dia ini bukan anak Bapak.

Mengusap jejak basah di pelupuknya, Sekala kembali melangkah masuk ke dalam kamar.

Hal itu terjadi ternyata tidak luput dari pandangan sang Ibu yang berdiri di ambang pintu.

Melirik sang suami yang bahkan sama sekali tidak terusik oleh Sekala.

"Tolong lirik Sekala sebagai anakmu Mas".

"Kalau memang aku ngak pantas jadi istrimu setidaknya Sekala pantas menjadi anakmu". Monolog Ibu Fatma malam itu bersama setetes yang jatuh, entah tetes air mata maupun air langit di luar sana.

Malam yang beku kini bertambah beku oleh hujan yang turun dengan derasnya.

Di dalam kamar usai membersihkan diri, Sekala duduk terpaku di kasur menghadap jendela yang mempertontonkan bagaimana beribu-ribu air hujan jatuh ke tanah.

"Pengen jadi kayak hujan, jatuh sekeras apa pun tapi tidak pernah mengeluh". Ucapnya.

Pandangan nya lantas beralih pada perban di area tangan, menatap lekat pada bagian perban kecil bekas donor darah tadi.

"Sekarang darah lo udah ada di badan gue Bang". Ucapan Sekala yang masih mampu terdengar oleh Ibu yang masuk ke dalam kamar.

Duduk di dekat Sekala.

"Maksud kamu?". Tanya Ibu.

Sedikit tersentak karena kehadiran Ibunya yang terkesan tiba-tiba, Sekala bergeser sedikit guna menjaga jarak.

SENJA TERAKHIRWhere stories live. Discover now