9. Useless

48 12 1
                                    

Selama perjalanan, Karinka hanya bisa pasrah. Setelah mengetahui fakta yang membuatnya sangat terpukul dan merasa bersalah, gadis itu sudah tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun untuk bertanya ke mana Ravel akan membawanya. Karinka juga hanya berani menatap ke arah jalanan dari jendela di sisi kirinya karena rahang Ravel tampak mengeras ketika ia menatap sekilas ke arah pria itu.

Laju mobil Ravel perlahan melambat kemudian berhenti sepenuhnya di depan pagar rumah yang masih jelas terekam di dalam benak Karinka sebagai tempat Ravel mengurungnya. Gadis itu bergeming di tempat. Sabuk pengaman masih menyilang di tubuhnya ketika Ravel sudah keluar dari mobil.

Karinka pikir ia akan ditinggal oleh Ravel, tetapi pria itu justru membuka pintu penumpang dengan gerakan kasar lalu menariknya keluar dari kendaraan beroda empat itu. Beruntung Karinka sudah sempat melepaskan sabuk pengamannya terlebih dahulu sebelum diseret oleh pria itu.

"Mas, aku bisa jalan sendiri," cicit Karinka. Pergelangan tangannya terasa sakit karena cengkraman tangan besar Ravel yang begitu erat di sana.

"Bersihkan seluruh rumah ini," titah Ravel dengan nada menggelegar. "Jangan sampai ada bagian yang terlewat."

Karinka baru saja hendak membuka mulut untuk melayangkan protes. Namun, kalimatnya hanya bisa tertahan di ujung lidah karena Ravel sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya.

"Kalau sampai aku balik ke sini, rumah ini masih berantakan, awas kamu!"

Setelah berkata demikian, Ravel lantas pergi meninggalkan Karinka seorang diri di rumah itu, tidak lupa dengan bantingan pintu utama sebelum sosok tersebut benar-benar menghilang dari pandangan si gadis.

Kepergian Ravel terasa seperti berkah untuk Karinka. Terlalu lama berbagi oksigen di dalam satu ruangan dengan pria itu membuat Karinka sesak. Entah sesak karena ketakutan akan sosok Ravel yang berubah seratus delapan puluh derajat menjadi iblis tanpa hati atau sesak karena Ravel yang selalu melayangkan tatapan bencinya semenjak ia keluar dari rumah sakit.

"Wajar kalau dia benci sama kamu, Karinka," gumam Karinka pada dirinya sendiri. "Kamu yang udah bunuh istri dan calon anaknya," lanjut gadis itu.

Bulir bening perlana meluncur dari kedua indra penglihatan Karinka tanpa bisa dicegah. Tangannya membentuk kepalan kemudian dipukulkan pada ulu hati, berharap dapat mengurangi sesak di sana. Namun, sayangnya hal itu tidak terwujud. Dadanya malah semakin terasa sesak, diiringi dengan tangisannya yang semakin menjadi-jadi. Siapapun yang mendengar suara tangis gadis itu akan dapat merasakan kesedihannya.

*

Menyeka keringat yang bercucuran di keningnya, Karinka tetap melanjutkan acara mengepelnya. Dengan posisi berjongkok, tentu aktivitas itu menguras banyak tenaga, terbukti dari peluh yang kini sudah membasahi seluruh bagian belakang pakaian gadis itu.

Karinka ingin beristirahat sejenak. Namun, takut kalau Ravel kembali sebelum pekerjaannya selesai. Ia tidak mau dibantai habis oleh pria itu, meskipun pasti akan.

Indra pendengaran Karinka menangkap suara pintu utama yang terbuka, menandakan ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah itu. Ia memilih untuk mengabaikan sosok yang baru melangkah masuk, melanjutkan pekerjaannya yang belum rampung.

Namun, sikap acuh Karinkan hanya bertahan selama beberapa menit setelah kedatangan sosok itu--Ravel. Pria itu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa melepaskan sepatu sehingga jejak kakinya tertinggal di lantai yang masih belum sepenuhnya kering itu.

Karinka memutar kepalanya, masih dengan posisi berjongkok dan tangan yang memegang kain pel. "Mas, sepatunya bisa dilepas dulu?" tanya gadis itu berusaha menahan sabar, padahal dirinya sudah ingin berteriak memaki Ravel yang tidak tahu tata krama itu. Hasil kerja kerasnya dirusak begitu saja oleh pria itu.

(Bukan) Pernikahan Turun RanjangWhere stories live. Discover now