Bandung, 2022
"Neng geulis, tolong ambilkan meteran ibu di lemari khusus bahan jahit!" perintah Mama dengan suara lembut yang selalu membangkitkan kenangan indah masa kecilku.
Tanpa banyak bicara, aku yang sedang menikmati kehangatan sup di sore yang mendung itu, segera beranjak dari kursi dan menuju lemari tua yang sudah berpuluh tahun setia menyimpan segala peralatan jahit Mama.
Lemari tua itu, penuh dengan cerita, menjadi saksi bisu dari setiap jahitan yang dihasilkan oleh tangan terampil Mama. Aku membuka pintu lemari dengan hati-hati, di dalamnya terdapat sebuah kotak kayu yang usang namun masih kokoh. Di dalam kotak itu, terdapat jarum, benang, kancing baju, dan berbagai pernak-pernik yang digunakan Mama dalam menjahit.
Saat aku mengangkat kotak itu dengan perlahan, selembar kertas tua jatuh ke lantai. Dengan rasa penasaran, aku mengambil kertas yang sudah menguning dimakan usia itu. Pandanganku teralih pada lipatan kertas tersebut, namun tugas utama belum selesai, aku membuka kotak sedang itu dan segera menemukan meteran berwarna biru tua milik Mama.
Dengan langkah ringan, aku menghampiri Mama yang tengah sibuk dengan mesin jahitnya.
"Mama, ini meterannya."
"Oh, terima kasih, Neng," ucap Mama, sambil tersenyum manis padaku, senyuman yang selalu memberikan rasa nyaman.
"Mama butuh bantuan?"
"Enggak, kalau Mama butuh bantuan pasti Mama bilang kok," jawab Mama sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Okay, jangan dipaksain ya, Ma. Kalau cape, istirahat dulu ya?"
"Iya, Neng," jawab Mama lembut.
Seperti biasa, Mama selalu memanggilku Neng, sebuah panggilan yang penuh kasih sayang. Aku duduk di sofa dekat Mama yang sedang menjahit, perlahan kubuka kertas yang tadi jatuh.
"Loh? Nggak jadi makan, Neng?"
"Nanti dulu, Ma. Lagi nemu surat tadi, mau baca," jawabku sambil tertawa kecil.
"Surat? Dari pacar?" tanya Mama sambil menggoda, aku hanya membalasnya dengan cengiran malu-malu.
Pandanganku tertuju pada surat itu. Oh, ternyata ini bukan surat biasa, melainkan sebuah lukisan.
Terpampang jelas di sana, seorang pria dengan busana rapi, jas hitam pendek yang pas di badan, kemeja putih bersih, dan sepatu coklat yang berkilauan. Rambut klimis blonde sedikit kecokelatan dan kulitnya yang pucat menambah kesan elegan. Di sudut kanan bawah kertas itu tertulis nama pelukisnya, dengan tinta yang sudah mulai memudar.
"Meneer Victor Van Vreeden, 1917
2017"
Aku tertegun sejenak, membiarkan kenangan masa lalu mengalir kembali. Senyuman terukir di wajahku saat melihat lukisan itu.
"Siapa yang lupa? Dia adalah cinta pertamaku," bisikku pada diri sendiri, mata mulai berkaca-kaca.
"Ik mis u heel erg, meneer," ucapku pelan, suara puitis yang meresapi keheningan ruangan.
YOU ARE READING
Meneer, I'm In Love With U!
Historical FictionDi Braga banyak makhluk halus seperti Noni, Meneer, dan hantu Belanda lain nya menatap nya tak suka. Tapi mengapa satu sosok pria muda belanda itu menatap Hellen penuh dengan kerinduan? Highest rank : #1 Kolonialbelanda (10 Juli 2023) #2 Meneer (29...
