17

200 36 18
                                    

Hari demi hari pun berlalu. Dan ini sudah seminggu sejak Lan Xichen kembali dari Korea. Ada beberapa hal yang membuat Jiang Cheng heran setelah kepulangan suaminya. Lan Xichen jelas bersikap berbeda sejak saat itu. Jika biasanya Lan Xichen akan menyempatkan diri untuk sarapan juga makan malam bersama, sekarang tidak lagi. Jika biasanya Lan Xichen selalu bersikap manis dan penuh perhatian, sekarang tidak lagi.
Akhir-akhir ini Lan Xichen seperti menghindari nya. Suaminya itu bahkan menjadi seseorang yang tidak banyak bicara. Yang paling Jiang Cheng khawatir kan adalah sikap Xichen pada Jingyi. Xichen bahkan mulai mengabaikan Jingyi meski anak itu menangis ketika meminta bermain dengan ayahnya.

Dengan mengumpulkan kebenaran akhirnya Jiang Cheng menghampiri Lan Xichen yang masih berkutik di meja kerjanya.

"Sudah malam. Tidakkah kau ingin beristirahat?"

"Kau bisa tidur lebih dulu."

"Aku akan menunggu mu. Ada sesuatu yang ingin ku bicara kan."

Lan Xichen menghentikan aktivitas nya lalu berjalan ke tepi ranjang dan mendudukan dirinya disana.

"Apa?" Tanyanya seraya merogoh ponsel tanpa memandang Jiang Cheng yang masih berdiri di tempatnya semula.

"Taruh ponselmu!"

Lan Xichen melirik Jiang Cheng sekilas lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana kerja yang masih ia kenakan.

Jiang Cheng mendudukan dirinya di samping Lan Xichen yang masih enggan melihat ke arahnya. Dan hal itu membuat hati Jiang Cheng berkedut nyeri.

"Huan, apa kau baik-baik saja? Jika ada sesuatu yang terjadi padamu, kau selalu bisa membaginya dengan ku."

Lan Xichen masih tak berniat membuka mulutnya.

"Apa kau ingat saat kita berjalan berdampingan di atas altar lalu mengucapkan janji suci dihadapan Tuhan setelahnya?"

Tentu saja Xichen ingat. Itu adalah moment terindah dalam hidupnya.

"Saat itu kita berjanji untuk saling menjaga dan mencintai seumur hidup kan?"

Ya. Namun sepertinya Xichen sudah menodai janji suci itu.

"Tapi apa kau ingat yang ku katakan padamu di atas jembatan apung waktu itu? Aku mengatakan bahwa aku ingin menjadi apapun untuk mu Huan. Termasuk menjadi tempat mu berbagi segala hal. Baik kepenatan dan rasa sakit apapun itu sejak dulu kau selalu membaginya denganku. Kita sudah menelan dan melewati banyak tawa dan tangis bersama-sama. Lalu mengapa sekarang kau tidak lakukan hal yang sama? Aku tau, ada sesuatu yang mengganggu mu kan? Tidakkah kau ingin membaginya dengan ku juga?"

Jiang Cheng meraih wajah tampan suaminya. Membuat manik mata kebiruan itu bertemu dengan manik kecoklatan miliknya.

"Lihatlah aku! Tidak bisakah kau melihat kantung mataku? Aku tak bisa tidur dan makan dengan baik karena mengkhawatirkan mu akhir-akhir ini."

Lan Xichen jelas bisa melihat semburat hitam dibawah mata indah Jiang Cheng. Dan itu semakin membuatnya merasa bersalah. Jujur saja, Xichen tidak bermaksud menghindari Jiang Cheng ataupun Jingyi. Dia hanya tidak punya muka untuk menghadapi keduanya. Lan Xichen terlalu malu, dia bahkan tidak punya keberanian untuk sekedar menatap manik kecoklatan itu.

"Maafkan aku!" Hanya dua kata itu yang mampu keluar dari mulutnya, membuat Jiang Cheng menatapnya tak mengerti.

"Aku mohon maafkan aku!" Lirihnya lagi, kali ini dengan suara yang mulai bergetar.

"Untuk apa Huan?" Tanya Jiang Cheng lembut.

"Hanya maafkan aku Wanyin!"

"Tentu. Aku tidak mengerti maksud mu, tapi apapun itu kau tak pernah melakukan kesalahan untuk ku Huan. Jadi tak perlu meminta maaf!" Jiang Cheng membawa Lan Xichen dalam pelukannya. Menepuk-nepuk pelan punggung Lan Xichen mencoba memberi suaminya kenyamanan.

Dark among Light. (Xicheng/Wangcheng)Where stories live. Discover now