"Ada yang akan naik pangkat jadi guru, nih. Jangan galak-galak padaku, ya," candaku. 995 tertawa, semoga saja dia tidak berniat menjadi guru galak nantinya. Lagian salah satu muridnya adalah gadis tak berbakat sepertiku. Butuh kesabaran ekstra untuk membimbingku, dan aku berharap agar tidak diberi tugas jadi Asisten Guru lagi, aku ingin diperlakukan adil seperti teman-teman sekelasku, mendapat jatah mata pelajaran pilihan agar bisa lebih cepat menguasainya.

Di kelas tiga, mata pelajaran pilihannya hanya ada dua. Ada tiga mata pelajaran perhari, jika saja aku harus belajar semuanya lagi, mungkin aku bisa jadi guru pengawas karena menguasai semua mata pelajaran. Tidak, aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku di depan 995, dia pasti merasa aneh jika aku tidak menguasai mata pelajaran pengintai.

Enam bulan yang lalu, tepatnya setelah aku terbebas dari kelas satu dan mulai belajar di kelasku sendiri, aku sempat mampir ke area tengah pulau karena penasaran, dulu aku dan 1005 pernah menemukan empat jejak yang mengarah ke tengah pulau saat kami mencari bahan makanan. Jika memang jejak itu adalah milik para korban seleksi alam, berarti ada jalan keluar di sekitar sini.

Aku tidak bermaksud mencari jalan keluar untuk kabur dari sekolah ini, lebih tepatnya adalah mencari jalan masuk ke tempat tinggal para korban seleksi alam karena ingin mencari orang tuaku dan kakakku yang disembunyikan di sana.

Saat sedang asyik mengamati, ada seseorang yang menyapaku, dia memperkenalkan diri sebagai 995, murid kelas tiga. "Bersabarlah, setelah lulus kita pasti akan ke sana," ucapnya tiba-tiba, aku hanya diam, mencoba memahami maksud ucapannya.

"Pulau idaman yang menjanjikan kehidupan yang nyaman dan damai. Jujur saja, aku juga ingin cepat-cepat ke sana," lanjutnya tanpa diminta. Aku mengerti, sepertinya dia sedang membahas pulau yang menjadi tempat dikurungnya para korban seleksi alam, tapi dari mana ia tahu tentang itu?

"Kamu juga pasti mengidamkan kehidupan tenang seperti itu, 'kan? Atau ada alasan lain yang membuat kamu setuju direkrut menjadi mata-mata?" Mata-mata? Ternyata itu adalah alasannya mengetahui tentang pulau itu. Pantas saja para pengurus sekolah tidak mengawasi para murid di sekolah ini, ternyata mereka merekrut mata-mata dari para murid.

"Karena ayahku ada di sana," jawabku tanpa berpikir saat menyadari dia terus menatap menunggu jawaban. "Ayah? Bukannya anak korban seleksi alam tidak boleh jadi mata-mata, apa maksudmu paman?" Gawat, ternyata aku salah bicara. "Maksudku paman. Di keluargaku cara memanggil saudara dari orang tua sama dengan cara memanggil orang tua kita sendiri, agar lebih akrab," jawabku mencoba mencari alasan, berharap kali ini tidak salah lagi.

"Aku juga ingin sekali bertemu pamanku. Katanya di sana kita sudah bisa saling memanggil dengan nama sendiri, dan akan langsung dipertemukan dengan keluarga kita yang jadi korban seleksi alam. Menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama keluarga di sini, lalu menghabiskan sisa hidup kita bersama keluarga di sana, sayangnya harus hidup terpisah dengan anak kandung. Aku masih sulit mengerti tentang aturan ini."

Sepertinya 995 sangat yakin bahwa aku ini mata-mata sepertinya, makanya dia bebas berbicara tentang rahasia ini padaku. Aku jadi tahu banyak hal tentangnya. Sejatinya korban seleksi alam tetaplah korban, meski diberikan kehidupan yang nyaman di pulau itu, mereka harus hidup terpisah dengan orang tua, saudara, dan anaknya. Mereka hanya bisa bertemu dan tinggal bersama dengan keponakannya yang direkrut menjadi mata-mata.

Lain halnya dengan para korban seleksi alam yang kesannya seperti diculik dan dipaksa tinggal di sana, para mata-mata justru sudah tahu bahwa mereka akan tinggal di pulau itu dan berpisah dari orang tua serta anaknya nanti.

Tunggu, aku terpikir satu hal. Jika keponakan korban seleksi alam yang jadi mata-mata, itu artinya kakak sepupuku adalah mata-mata? Dan kalau anak dari korban seleksi alam tidak bisa menjadi mata-mata, berarti kakakku masih ada di sini.

Seleksi Alam (Prapesan) ✔️Место, где живут истории. Откройте их для себя