BAB 1. 1001

84 21 168
                                    

Aku bersama delapan orang teman sekelasku berkumpul di taman sakura yang berlokasi di area kelas satu. Senang? Andai saja tidak ada teman kami yang jadi korban seleksi alam, harusnya kami merayakan kenaikan kelas dengan penuh kebahagiaan. Bahkan aku takut untuk sekadar bersyukur atas keberhasilanku dalam ujian ini, bukankah jika mensyukurinya sama saja dengan mensyukuri bahwa temanku yang jadi korban, bukan aku.

Aku mengambil tempat duduk di bawah pohon sakura yang rindang, dikelilingi hamparan bunga tulip berwarna-warni, ditemani kupu-kupu dan berbagai serangga pecinta bunga, dihibur pemandangan jingga dari langit sore yang terpantul indah di laut lepas. Angin sejuk yang membawa serta wangi beraneka ragam bunga, cukup menghiburku, sedikit, karena terkurung di sekolah aneh ini rasanya seperti dibuang bagiku, gadis lemah yang biasa dimanja oleh keluarga.

 Angin sejuk yang membawa serta wangi beraneka ragam bunga, cukup menghiburku, sedikit, karena terkurung di sekolah aneh ini rasanya seperti dibuang bagiku, gadis lemah yang biasa dimanja oleh keluarga

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

"Hei, akhirnya ketemu juga," ucap 1005. Ya, aku memang hobi sembunyi, tapi murid laki-laki yang satu ini justru sebaliknya, hobi mencari, bakatnya tentang mencari jejak memang berkembang pesat sejak dilatih dengan baik selama satu tahun ini.

Jujur, itu membuatku iri, karena sampai sekarang aku tidak tahu apa potensiku, bahkan aku sempat mengira bahwa murid tak berbakat sepertiku punya peluang besar untuk menjadi korban seleksi alam, tapi ajaibnya aku malah lulus ujian.

Seleksi Alam, begitulah sebutan yang diberikan oleh sekolah ini mengenai hilangnya para murid pada masa ujian. Tidak ada yang tahu pasti mereka ada di mana, tapi sebagai anak dari korban seleksi alam, aku tahu bahwa korban seleksi alam masih hidup, mereka hanya menghilang, atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa mereka disembunyikan dari dunia luar.

Fakta yang lebih kejam adalah anak para korban seleksi alam dititipkan pada keluarga korban, hingga aku dan kakakku tumbuh tanpa pernah mendengar kabar tentang orang tua kami. Lalu, setelah kelulusan sekolah menengah pertama, kami dipaksa untuk menjadi murid di sekolah yang sudah menjadikan orangtua kami sebagai korban.

"1001, kamu menangis?" Buru-buru aku menghapus air mata yang entah sejak kapan menetes basahi pipi. 1005 yang tadinya duduk di sampingku, kini berpindah tepat di depanku. Sorot matanya yang lembut mampu membuat hatiku menjadi lebih tenang, dan dengan sendirinya, aku tersenyum.

Seragam sekolah yang menutupi hampir seluruh tubuh kami, membuatku tidak pernah tahu seperti apa paras murid laki-laki yang sejak hari pertama sekolah suka membuntutiku ke sana kemari. Hanya matanya yang bisa kulihat, terkadang aku membayangkan senyum manisnya saat tersenyum dan tertawa lepas bersamaku.

"Selamat ..." Ucapannya terhenti karena dengan secepat kilat aku menutup mulutnya, tidak, maksudku meletakkan telapak tanganku di penutup wajah yang menyerupai masker miliknya. Benar-benar seragam yang aneh. Masker ini bahkan menyatu dengan seragam kami sehingga tidak bisa dibuka, sengaja dijahit menyatu dengan penutup kepala kami. Benar-benar tertutup dari ujung rambut hingga ujung kaki, desain yang sempurna untuk menyembunyikan penampilan fisik dan identitas.

"Untuk apa? Justru aku merasa kita sedang dipenjara," balasku yang kesal mendengar kata selamat. Aku sudah kehilangan kebebasanku selama satu tahun, entah aku kuat atau tidak menunggu tiga tahun lagi agar bisa terbebas dari sekolah ini. Itupun kalau aku berhasil bebas dari kutukan bernama seleksi alam. Jika tahun depan aku yang jadi korban, kebebasan hanya akan jadi impian yang tidak akan bisa terwujud seumur hidupku.

Dari kejauhan, tampak delapan orang murid dengan seragam berwarna merah mendekat. Mereka pasti murid kelas dua, malam ini seragam itu akan menjadi milikku dan teman-teman sekelasku. Dari arah berlawanan, tampak tujuh orang murid dengan seragam berwarna coklat, merekalah para murid kelas tiga yang akan menjalani penobatan menjadi guru kami untuk satu tahun ke depan.

Rasa cemas mulai menyerangku, sejak tadi hatiku gelisah menunggu kedatangan para guru yang sudah membimbing kami selama satu tahun ini. Jika para murid dari semua kelas telah selesai menjalani ujian, tandanya giliran para guru yang menjalani ujian akhir, ujian akhir yang biasa disebut dengan istilah salam perpisahan. Bahkan pada ujian akhir ini pun, masih ada sistem seleksi alam yang membuat salah satu guru harus merelakan kebebasannya.

Rupanya kecemasanku bukan tanpa alasan, setelah penantian panjang, indra penglihatanku mendapati rombongan para guru yang berjalan menuju taman sakura. Dengan cepat aku menyadari bahwa jumlah mereka hanya lima orang, bukankah yang jadi korban seleksi alam hanya satu? Lalu kemana satu orang lagi?

"Tidak, ini tidak mungkin. Pasti dia hanya terlambat," tuturku pelan sambil terus memfokuskan pandangan ke arah area perbatasan kelas satu dan area guru, berharap dia akan muncul.

"Kepada para murid, harap segera berkumpul di tengah taman karena acara akan segera dimulai." Sebuah teriakan keras membuyarkan konsentrasiku. Tidak, harusnya dia yang memimpin acara malam ini karena dia adalah pimpinan para guru, kenapa malah guru lain? Sekali lagi pengumuman itu terdengar, seakan memaksaku untuk menerima fakta bahwa orang yang kutunggu tidak akan pernah datang.

Napasku berembus cepat, perasaanku tak karuan, dingin menjalar ke seluruh tubuh, aku gemetar, air mata mulai keluar dari sarangnya, siap banjiri pipi. Dengan sigap 1005 menahan tubuhku yang hampir terjatuh karena kehilangan kekuatan dalam pijakan. Hari ini hari kebebasannya, tapi dia menghilang, apakah dia juga menjadi korban seleksi alam? Apakah kali ini ada dua orang yang jadi korban dari para guru?

"Tidak adil! Belum cukup puas merenggut ayahku, sekolah ini juga merenggut kakakku," gumamku lirih. Aku yakin 1005 bisa mendengarnya, tapi dia tidak berkomentar apa-apa. Dia memelukku erat, mencoba menenangkan diriku yang sedang dalam kondisi mengkhawatirkan.

______________________________________
Perkenalan Tokoh:

Nomor Induk Siswa : 1001Status : Kelas 2Angkatan : 101Keahlian : -About : Anak kedua dari dua bersaudara

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

Nomor Induk Siswa : 1001
Status : Kelas 2
Angkatan : 101
Keahlian : -
About : Anak kedua dari dua bersaudara. Adik dari 977, alumni angkatan 98 yang statusnya tidak diketahui apakah menjadi korban seleksi alam atau lulus tapi menghilang. Ayahnya (707) adalah korban seleksi alam angkatan 71.

Seleksi Alam (Prapesan) ✔️Where stories live. Discover now