BAB 6: PARA PENAKLUK HANTU

Magsimula sa umpisa
                                    

Tidak lama setelah itu, Fajri mendengar isakan. Nalurinya menyuruhnya untuk menepuk pundak Wawan. Isakan itu tertahan, namun Fajri bersiap jika isakan itu meledak. Ketika ia melihat pada Sharla, Fajri juga mendapati mata Sarah mulai memerah. Fajri tak menepuk teman masa remajanya itu, karena ia yakin hirupan asap rokok sudah cukup untuk menenangkan psikolog itu.

Melihat juniornya, Herman tidak tahu apakah ia harus lanjut menjelaskan situasi atau mengunci mulutnya. Akhirnya, ia hanya dapat menunggu temannya menenang. Ketika Wawan menenang, Herman mendapati rekannya menatapnya dalam-dalam.

"Terus, Bang?"

Herman menghembuskan napas. Ia mengambil bungkus rokok Sharla, menyalakan satu linting, dan menghirup asap. Ketika asap terhembus dari mulutnya, Herman mengumpulkan segenap jiwa raganya.

"Alat gua nyala tadi jam dua pagi. Gua langsung kirim peringatan darurat. Tapi yah, percuma. Mereka cuma konfirmasi ada gempa, tapi warga nggak diungsiin. Peringatan gua nggak digubris."

Wawan kembali bersumpah serapah.

Herman melanjutkan walau berat, "Bentar lagi bakal ada yang jemput kita buat konferensi pers. Dari BMKG. Nanti lu yang ngomong. Naskahnya udah gua bikin."

Wawan tertunduk. Sharla kembali mengisi cangkir kopi Wawan dengan anggur. Wawan tak menunggu sedetik pun untuk langsung meneguk habis seusai Sharla menuang.

"Sebelumnya, Bang," Wawan berujar serak; "Ini terakhir. Habis konferensi, gua izin mundur."

"Maksudlu?" Herman memastikan.

Wawan menghembuskan napas, "Gua nggak mau lagi jadi pemburu hantu."

Herman terdiam. Ia melihat Wawan, lalu Sharla, lalu Fajri. Sejenak, ia kaget. Sejenak kemudian, darahnya memanas. Namun sejenak setelah itu, napasnya terlepas bebas. Setelah semua yang dilewati Wawan, Herman mengerti. Ia membuang abu, menghirup asap, lalu menelan. Setelah itu, ia memandang Wawan dan menangguk, "Iya, gua ngerti. Sebenernya, kita juga mau ngomongin itu."

"Ngomongin apa, Bang?"

"Mau berhenti."

Wawan memandang Herman. Kini ia yang kaget, lalu merasakan darahnya memanas. Sama seperti Herman, ia akhirnya menghembuskan napas panjang. Ternyata rasanya dan rasa Herman sama persis. Namun tetap saja, Wawan memikirkan bagaimana Herman hidup hanya dari membuka kafe.

"Bang Herman nggapapa?" Wawan memastikan.

Herman tertunduk. Matanya sayu. Senyumnya terangkat setengah, "Dosen gua nawarin kerja. Dia bilang alat-alat gua groundbreaking. Gua diajak ke Jerman buat eksibisi alat-alat gua; katanya biar gua dapet penghargaan apa lah."

"Oh," Wawan lemas. Ia teringat bahwa bosnya adalah sang Faraday pada abad ke-21. Namun betapa asingnya semua itu. Lima tahun bersama Herman, ejek-mengejek kebodohan masing-masing, dan mendengar betapa konyolnya Herman berbicara, membuatnya melihat bosnya sebagai orang biasa. Mungkin seperti rekannya yang ia temui di warung kopi, atau satpam penjaga lahan parkir motor kampusnya. Kini tiba-tiba tercipta batas antara dirinya dan Herman, seakan-akan mereka dipisahkan samudra serta benua. Ia mengingat kembali alat-alat canggih kepunyaan Herman, bagaimana meja komputer Herman diautomasi secara mandiri, dan perangkat lunak bernama "Detektif Kentut" yang kaya akan detail ilmu tinggi. Semakin ia pikirkan, semakin jauh sosok Herman baginya. Ia hanya lulusan DKV di universitas antah berantah, yang bekerja sebagai barista setelah lulus. Namun Herman? Herman adalah seorang insinyur mesin, lulusan universitas ternama di Berlin, yang kerjanya menghancurkan takhayul dengan sains, dan sekarang alatnya akan dieksibisi sebagai mesin-mesin terbaik dunia. Wawan hanya seekor semut di lautan tanah, sedangkan Herman adalah seekor rajawali yang terbang tinggi di angkasa.

PARA PENAKLUK HANTUTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon