BAB 5: KLIEN DARI MANINJAU

Start from the beginning
                                    

Sharla memutar kursinya agar dapat mengobrol dengan suami dan bawahannya, "Gua ada adek cowok sih. Seumuran lu kayaknya; baru lulus."

"Sama persis kayak Sharla, Wan. Gamer juga. Kayaknya lebih parah lagi," Herman menambahkan.

"Tapi asik, Beb," Sharla menangkal; "Bisa main bareng. Kamu udah nggak punya saudara, nggak punya temen, kan? Nggak pernah main bareng. Kasian deh."

"Buset, Beb, direm dikit itu mulut!" Herman rewel.

Wawan sekali lagi mengembalikan pembicaraan pada topik awal, "Terus adeknya Mbak Sharla lulusan apa? Psikologi juga, Mbak?"

"Oh, nggak. Dia lulusan manajemen. Kuliah di Bandung."

"Kece juga, Mbak," puji Wawan.

"Kece sih kece, Wan. Tapi doi masih pengangguran," Sharla menghela napas.

"Nggak apa-apa, Mbak. Gua juga masih jadi barista, kan?" Wawan berusaha menaikkan semangat Sharla.

"Apaan, barista. Lu kelar kuliah baru berapa bulan, udah dapet duit ratusan juta," Sharla memuji balik.

Wawan tertawa, "Ortu gua sampe curiga loh, Mbak. Nanyain duitnya dari mana."

Herman ikut obrolan, "Terus lu bilangnya gimana?"

"Gimana?" Wawan agak bingung; "Ya, gua jawab jujur aja, Bang. Gua kerja sama pemburu hantu yang lagi ngetren di TV. Mereka rada nggak percaya gitu. Gua kasih selfie kita-kita, baru percaya mereka. Hehehe!"

"Buset, pemburu hantu yang lagi ngetren di TV," Herman tersipu; "Ngomongin apa aja emang lu?"

"Ngomongin apa, maksudnya, Bang?" Wawan agak tidak nyaman, karena yang ia ingat soal ceritanya sendiri adalah bagaimana ia mengumbar aib Herman yang cukup sinting.

"Ya, apa aja yang lu obrolin," jelas Herman.

"Gitu-gitu aja, Bang. Gua ngapain aja, pemburu hantu kayak gimana, sama alat-alat buat ngeburu hantu kayak gimana aja..." Wawan kemudian pamer, "Terus gua jelasin tuh, satu-satu, dari Spektolskop sampe Detektif Kentut!"

Herman memutar mata, "Mentang-mentang udah ngerti ya, lu. Dasar."

"Emang ngerti ortulu?" tanya Sharla.

"Kagak," jawab Wawan cepat dengan sambutan kekehan.

Sharla ikut terkekeh, "Jelas banget. Yang ngerti kayak gituan cuma orang gila!"

"Kamu orang gila juga dong," Herman membela diri.

"Yoi! Makanya aku nikahin kamu. Cuma orang gila yang mau sama kamu!" tawa Sharla meledak.

"Kurang ajar. Jadi istri kok gini amet sih," gerutu Herman.

"Abang sama Mbak cocok kok," timpal Wawan yang hendak melerai.

"Halah, kutu kupret," Sharla memutar mata; "Turun yuk, pengen nyebat. Udah shift-nya Wawan juga, kan?"

Herman mengangguk. Terakhir kali ia ketahuan merokok di lantai dua ruko tempatnya tinggal, Sharla marah-marah karena bau rokok akan mengusir kliennya. Meski Sharla kerjaannya memang menggerutu 24 jam 7 hari, Herman tak ingin memancing gerutu sungguhan dari istrinya.

*****

Kafe Herman sudah banyak berubah. Bersama dengan adik Fajri, Wawan menambahkan berbagai macam perhiasan seperti poster dan kata-kata unik di tembok dinding. Tidak lupa, lilitan lampu yang digunakan pada pemburuan hantu di Indramayu kini menghiasi dinding dan langit-langit kafe, malah hingga terbentang sampai lapangan luar ruko, tergantung pada tiang-tiang ramping. Penataan kafe juga sudah lebih terasa mewah, dan menu kopi yang dapat dipesan juga sudah jauh lebih beragam.

PARA PENAKLUK HANTUWhere stories live. Discover now