Butterfly | Bab 7

Start from the beginning
                                    

"Kenapa?"

Michelle menunduk, memperhatikan sepatu pantofel hitam yang ia kenakan. "Gue cuman cape kalo terus-terusan ngejer sesuatu yang gak bisa gue gapai."

Kenzo membungkam mulutnya rapat-rapat.

"Lo tau Kenzo?" Ia mendongak, memperlihatkan wajahnya yang memerah menahan tangis. "Bener kata-kata di novel Mariposa. Dion terkejar, tapi gak tergapai."

Tangan pria itu refleks terangkat, mengelus puncak kepala Michelle menenangkan. Kenzo tau bagaimana rasanya. Kenzo mengalami hal yang sama dengan proses yang berbeda. Masalahnya kali ini lebih rumit. Lebih ruwet dibandingkan dengan benang-benang halus yang berbelit tak tau arah.

Setelah kematian Ibundanya, ayah tidak lagi menjadi figur kepala keluarga yang baik. Pria itu hanya pulang sebulan sekali untuk memberinya uang, kemudian pergi lagi. Ayahnya adalah pria terburuk yang Kenzo kenal.

Pria itu begitu terpuruk setelah kehilangan istri sekaligus ibu dari anak berusia delapan tahun kala itu. Ia meninggalkan Kenzo sendirian setiap malam. Kenzo yang masih kecil, sesekali menangis meminta Tuhan mengembalikan keluarganya dengan bahagia. Ia rindu pelukan Ibunda, begitu juga dengan suara ayah yang tegas namun lembut ketika mendongeng.

"Gue tau, Ta. Gue paham." Setelah mengatakan kalimat tersebut dengan singkat, Kenzo kembali membungkam bibirnya. Ia semakin menyadari mata Michelle yang mulai membengkak, tapi tidak ada air mata disana.

Sedangkan disisi lain, Michelle tersenyum diam-diam. Semua perasaan ini tentu juga ia rasakan. Perasaan kehilangan sekaligus kebingungan yang mengepungnya dengan berbagai pertanyaan. Ia tentu tidak melupakan bahwa semua karakter dari setiap tokoh yang ia punya, menggambarkan tiap luka yang ia miliki.

Gadis itu memegang dadanya yang sesak.

Michelle tidak pernah merasa dicintai. Semua orang menganggapnya hama yang pantas dibumihanguskan dengan keji. Mereka tidak membiarkan Michelle memiliki proses, tahapan menuju tempat ternyaman untuk dirinya tinggal.

Michelle pernah mencintai satu lelaki. Laki-laki yang sama yang menjadi potensi terbesar dalam luka terberat dihidupnya. Pria itu membakar habis tiap rasa yang ada. Menorehkan luka yang kian lama semakin membusuk setiap hari gadis itu hidup.

"Karena sekarang penampilan lo kaya gembel," Kenzo menyerahkan helm yang ia ambil asal dari salah satu motor yang masih terparkir disana. "-maka gue izinin kali ini lo naikin motor kesayangan gue."

Michelle menyugar rambutnya seketika. Bibirnya tersenyum, senyum keji yang tidak disadari oleh sipenerima.

"Makasih Kenzo."

•••

"Lo yakin ini rumah lo?" Kenzo bertanya sekali lagi, mendapati Michelle tetap mengangguk mantap, pria itu kembali terdiam.

"Kenapa lo nanya terus?" Michelle menyerahkan helm tersebut, ia menepuk punggung Kenzo dengan gaya memerintah. Menyuruh pria itu turun dari motor tersebut.

Kenzo menurut. "Gue kira, rumah lo kecil. Soalnya lo keliatan gembel kalo di sekolah. Belum lagi lo bergaulnya sama anak beasiswa. Lo bener-bener keliatan kaya anak miskin yang lagi cari perlindungan dari ngejilat Dion yang orang kaya."

Michelle menggerakkan tangannya, bergaya tak perduli. "Ah udah ... udah ... gue jadi malu."

Kenzo terdiam, tak lagi berbicara. Tapi keningnya menukik berpikir, apa kalimat gue kedengaran kaya lagi memuji?

Pria itu mengangkat kedua bahunya acuh. "Wait, kenapa gue harus turun?"

Michelle tersenyum kian lebar, "lo masih harus anterin gue ke stasiun malem ini."

"Buat sebatang rokok lo minta banyak permintaan? Lo kira gue kacung?" Pria itu mendengus kasar. Ia segera menyambar helm bogo merah yang masih Michelle pegang. "Gue mau pulang."

"Lo harus bales budi. Atau balikin batang rokok gue tadi, sekarang." Tekannya dingin.

Kenzo melotot. "Tunggu sini, gue beli dulu di warung depan."

Michelle melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue bilang sekarang. Gue gak punya waktu buat nungguin lo beli rokok sebatang di warung."

"Kalo tau cuman sebatang, ya udah ikhlasin aja."

Michelle memutar kedua bola matanya jengah. "Oh, gak bisa." Ia menimpali singkat. "Udahlah lo gak punya pilihan lain selain anterin gue ke stasiun."

"Ada Bang Aris." Kenzo menyahut cepat. "Atau lo bisa naik ojek online. Gak harus sama gue. Atau ..."

Gadis itu mengangkat alisnya, "atau?"

"Atau jangan-jangan lo sekarang suka sama gue?! Ah, bener kan?! Lo suka gue kan? Mangkanya lo ngebet banget minta gue anterin."

Michelle tertawa remeh. Ia melirik pria itu dari bawah hingga ke atas. Kemudian ia mendesis jijik, "ewh."

Kenzo melotot. "Barusan lo bilang apa?"

Michelle tak menjawab.

"Ah, gue paham. Ini cuman alibi lo doang biar keliatan jual mahal. Gimana ya ... gue udah gak heran lo suka sama gue. Soalnya gue ganteng, kaya, baik, pokoknya gue terlalu sempurna."

Michelle menganggukkan kepalanya mengerti, Kenzo memang narsistik akut. Jadi tidak heran mendengar tiap pujian yang pria itu lontarkan barusan.

"Maaf Greta, tapi gue gak bisa nerima lo."

Michelle menghela nafasnya dengan panjang. "Kenzo?" Ia memanggil pelan.

Kenzo menatap angkuh.

"Haruskah gue ludahin jari gue, lalu gue tegasin lagi, kalo lo harus mandi kembang tujuh rupa di tujuh sumur suci biar gue sudi deket-deket sama lo?" Michelle tidak tau itu adalah sebuah pertanyaan atau bukan. Karena tanpa persetujuan si empunya pun, ia akan tetap melakukan hal tersebut.

Kenzo terdiam. Ia menggaruk tengkuknya sesaat, setelahnya ia tersenyum polos. "Jadi, boleh gue anter ke stasiun?"

•••

ButterflyWhere stories live. Discover now