Semua Hal yang Tak Asing

78 20 0
                                        

Sejak tadi, mata Sindhu tidak lepas sedetik pun dari sana. Ia memerhatikan dengan saksama bagaimana kedua mata itu memandangnya, bagaimana gadis itu sesekali menyisir rambutnya sendiri dengan jari jari tangannya, lalu saat gadis itu berkali kali tertawa sambil sesekali memukul meja. Semua hal yang membuat Sindhu berkali kali melengkungkan senyumnya.

Ia menikmati segala hal yang sudah lama ia ingin rasakan lagi itu. Sebuah euforia yang sudah lama hilang selama ini, termasuk bagaimana meriahnya suara itu kembali memenuhi telinganya.

"Bentar, stop dulu. Ini kalau keterusan cerita nggak jadi makan kita. Aku pesan dulu ya." Ucap Sindhu di sela tawanya. Laki laki itu beranjak dari duduknya lalu menuju salah satu stand disana.

"Oh, iya lupa." Sabrina tersenyum dari kejauhan. Gadis itu menunjukan jempolnya ke arah Sindhu yang memastikan lagi pesanannya.

"Sampai mana tadi?"

"Sampai.. oh. Moving class, inget nggak sih?"

"Iya inget."

"Kamu mau tau sesuatu? Jadi dulu aku selalu duduk paling depan itu bukan karena mau perhatiin pelajaran."

"Jadi?"

"Biar kelihatan kamu pas kelas kamu lagi moving."

Sabrina tertawa lagi, sambil sesekali memukul meja. Segala cerita yang menurutnya mungkin sangat lucu. Sementara ia hanya diam mendengar semuanya. Segala hal dari Sabrina yang ia baru tau sekarang. Sesuatu yang sama sekali tidak lucu baginya.

"Ibu gimana Ndu? Sehat kan?"

Sempat mengerjap beberapa saat, Sindhu terksiap mendegar pertanyaan itu. "Oh, iya. Sehat kok. Kalau papa sama Bunda gimana kabarnya Sab?"

"Alhamdulillah." Gadis itu tertawa lagi. "Mereka masih kaya yang dulu kok. Bawelnya minta ampun. Nih ya, aku kan udah hampir setahun nganggur, udah berkali kali juga papa mau masukin aku ke perusahannya lah, perusahaan om aku lah. Ya-- tapi aku nolak terus. Tau sendiri nggak nyaman kan kalau harus gitu?"

Sindhu mengangguk. "Iya ngerti. Oh, kamu masih inget Iqbal nggak sih?"

"Kak Iqbal? Yang keriting?"

"Iya. Dia sekarang kerja di AEN. Coba tanya deh, kenal nggak tuh papa kamu."

"Oh ya? Gila dunia sempit ya?"

Sindhu tertawa lagi.

"Kak Iqbal kak Iqbal." Sabrina terlihat berpikir di sela tawanya. "Mak comblang."

Lalu Sindhu terkesiap mendengar kalimat itu. "Iya bener. Iqbal mak comblang kita dulu."

Sabrina menggeleng lalu tertawa sambil menghela nafasnya. "Cinta monyet. Udah lama banget ya?"

"Cinta monyet ya?" Ulang Sindhu.

Lalu gadis itu mengangguk dengan masih melengkungkan senyumnya. "Cinta monyet. Jaman itu ya? Nggak nyangka ketemu disini."

Senyum Sindhu memudar seiring notifikasi masuk ke ponselnya. Ada gelanyar asing melintas di benaknya saat Sabrina mengatakan itu. Sesuatu yang juga membungkamnya erat selama Sabrina berceloteh tentang segala hal di jaman terkutuk itu. Setidaknya, ada satu hal yang ia tau sekarang tentang bagaimana dirinya di mata gadis itu. Cinta monyet. Dan memang hanya sebatas itu.

"Udah yuk, ditunggu yang lain rapat jam satu nih." Ucap Sindhu kemudian. Apapun yang ada di pikirannya saat ini, ia tau bukan saat yang tepat untuk menjadikannya hal yang serius.

Sabrina membereskan barangnya. Lalu satu notifikasi masuk di aplikasi WhatsApp nya.

Destine

Saudade LoopWhere stories live. Discover now