Sampai ketika film adaptasi novel gue tayang, dan nggak banyak orang yang benar-benar menontonnya, gue mulai meragukan prinsip yang gue yakini selama ini. Ketika hampir tiga tahun gue merasa baik-baik saja sebagai seorang penulis, hari itu gue mulai merasakan bagaimana sakitnya dikhianati usaha sendiri. Melihat orang-orang yang bekerja dengan gue merasa kecewa dan semua usaha yang udah dikerahkan untuk karya ini nggak mencapai batas-bahkan di garis minimal sekalipun-membuat hati gue tercabik-cabik.

Sedih? Tentu. Kecewa? Banget. Malu? Nggak usah ditanya. Namun, gue bisa apa? Nggak ada yang bisa disalahkan kecuali diri gue sendiri.

"Baba, Ummi, Mbak Nana, mulai senin besok Haikal bakalan jadi programmer tetap di Tokobelanja." Pikiran gue seketika buyar ketika Haikal bicara begitu di meja makan.

"Serius, lo? Lo nggak lagi ngeprank, kan?" tuduh gue karena anak itu kadang-kadang suka ngerjain orang.

"Nggak, lah! Nih, kalau lo nggak percaya," Haikal mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menunjukkan kontrak kerjanya kepada kami.

Sebenarnya menunjukkan kontrak kerja kepada seseorang-sekalipun itu adalah keluarga sendiri-memang kurang etis. Namun di keluarga kami, hal itu sudah sangat biasa.

Ketika membaca isi kontraknya, gue agak syok melihat nominal pendapatan Haikal tiap bulannya, dari menjadi programmer di aplikasi jual-beli online tersebut.

"Alhamdulillah ...," Baba mengucap syukur setelah membaca isi kontraknya. "Teman kamu si Yoga gimana? Dikontrak juga?"

"Kurang tahu, Ba. Soalnya yang dipanggil buat datang ke ruangan Pak Toni cuma Haikal. Haikal mau tanya ke Yoga juga nggak enak. Takut kesalahan."

"Iya jangan dulu," Ummi ikut menyahut. "Takutnya yang dikontrak cuma kamu aja. Kasihan Yoga kalau dia nggak dikontrak."

"Pokoknya kamu banyak-banyak bersyukur, ya? Itu artinya performa kamu selama magang di sana bagus, Dek. Ilmu yang kamu dapat selama kuliah bermanfaat dan bisa kamu aplikasikan dengan baik."

"Iya, Ba. Alhamdulillah."

"Jangan lupa traktir gue, ya, kalau gajian!" celetuk gue bercanda.

"Ya elah, jangankan traktir. Gue bisa kok beliin lo laptop baru. Laptop lo udah butut, kan?"

"Ayo, nggak boleh takabur." Baba mengingatkan dan kami berdua langsung diam.

Gue ikut senang mendengar kabar baik ini. Meski sebenarnya ada perasaan aneh yang mengganjal di hati gue-ketika melihat reaksi Baba soal pekerjaan Haikal. Gue juga nggak ngerti, kenapa gue bisa merasakan hal ini. Namun, reaksi yang Baba tunjukkan ke Haikal sama persis seperti saat Mas Hamas dan Mbak Ipeh cerita bahwa mereka diterima di tempat kerja mereka.

Reaksi yang nggak pernah gue terima setelah gue bilang bahwa naskah pertama gue dikontrak penerbit dan akan dijadikan buku.

"Kamu sendiri bagaimana, Hana? Masih nulis?" Baba tiba-tiba bertanya. Dan gue kaget bukan main karena selama ini Baba jarang bertanya soal pekerjaan gue.

"Masih, Ba." Gue tahu bohongin orangtua dosa, tapi gue nggak mau Baba dan Ummi tahu kalau gue lagi ambil jeda menulis. Apalagi kalau mereka tahu penjualan buku gue lagi anjlok banget. Bisa-bisa gue disuruh nikah sama cowok antah berantah pilihan Baba.

"Hari ini kamu pergi ke kantor penerbit ada apa, Sayang?" Kali ini Ummi yang bertanya. Gue pun menceritakan apa yang Mbak Dayatri tawarkan soal menulis autobiografi Satrian Pandega. Di luar dugaan, orang pertama yang paling heboh ketika mendengar cerita gue adalah Haikal. Bahkan dia sampai mengabaikan makanannya hanya untuk mengomentari tawaran proyek itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 04, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Up and DownWhere stories live. Discover now