"Terus lo mau gue yang handle proyek ini, gitu?" Kali ini gue menatap Mbak Dayatri.

"Yup! Ini kesempatan besar buat lo untuk perbaiki penjualan buku-buku lo. Sekaligus, lo cari pasar baru supaya orang-orang tahu buku-buku lo. Gue udah bisa bayangin sih kalau autobiografi ini bakalan best seller. Secara ... basis fansnya Satrian udah kuat banget."

Sebenarnya gue nggak masalah sih kalau diminta menulis autobiografi. Cuma yang jadi masalahnya, gue nggak terlalu suka sama si Satrian Pandega itu. Selain karena tangannya yang tattoan dan gaya hidupnya yang kelihatan liar, penyanyi jebolan ajang pencarian bakat itu menurut gue cuma modal tampang dan orang dalam aja buat bisa jadi juara satu di Star Idol. Suaranya juga nggak bagus-bagus amat. Lagipula karirnya baru seumur jagung. Masa sih agensinya udah berani mengeluarkan buku tentang dia-seolah dia udah banyak berjasa untuk industri musik di Indonesia?

Menurut gue masih banyak kok penyanyi senior yang lebih layak dan pantas dibuatkan autobiografi.

"Jadi gimana, Na? Lo tertarik, nggak?"

Gue menggaruk pelipis yang sebenarnya nggak gatal. "Ini seriusan banget Satrian Pandega? Apa dia nggak terlalu dini buat dibikinin buku semacam ini? Oke lah, kalau fanfiksi. Lah ini? Autobiografi?"

"Ya namanya juga lagi naik daun, Na. Kemarin si Donni bilang kalau autobiografi ini akan fokus di perjalanan hidup Satrian dari kecil sampai dia sesukses sekarang. Tujuannya supaya fans Satrian makin kenal sama Satrian."

Apa pun alasannya, gue tahu kalau semua itu hanya untuk urusan bisnis semata. Memang bisa banget ya para petinggi-petinggi itu cari peluang untuk menambah cuan. Jujur, gue jadi makin nggak ngerti dengan konsep berkarya di zaman sekarang. Seakan-sakan, asal punya banyak fans atau viral, lo bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan banyak uang. Nggak peduli hal itu perlu atau nggak untuk dilakukan, nggak peduli apakah sebuah karya diciptakan berdasarkan intuisi atau komersial semata.

"Jadi, gimana?" Mbak Dayatri kembali bertanya. "Gue sengaja tawarin lo proyek ini karena gue tahu lo masih belum bisa nulis setelah-sorry-film adaptasi buku lo gagal, Na. Ya, anggap aja ini pemanasan sebelum lo benar-benar comeback. Kalau lo terus diam, yang ada pembaca lo makin kabur."

Nggak ada yang salah dengan ucapan Mbak Dayatri. Untuk saat ini rasanya memang berat banget bagi gue melanjutkan apa yang udah gue bangun selama ini.

"Gue pikir-pikir dulu, ya, Mbak?" Gue masih ingin meyakinkan diri sendiri sebelum memutuskan. "Soalnya nulis autobiografi prosesnya bakalan beda banget sama nulis novel fiksi. Gue pengin cari tahu dulu contoh-contohnya kayak gimana."

"Oke. Gue kasih lo waktu buat berpikir, tapi lusa harus udah ada keputusannya, ya? Soalnya Donni minta gue cepat kasih kabar tentang penulisnya."

"Iya. Kalau gitu gue udah boleh pulang sekarang, kan?"

Mbak Dayatri mengangguk. "Proposalnya lo bawa aja dulu. Lo pelajari lagi di rumah."

"Oke." Gue mengambil kembali proposal itu dan berdiri. "Gue balik, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikum'salam."

***


Ketika ada acara bedah buku atau wawancara, gue selalu mengucapkan prinsip yang sama, bahwa karya yang dibuat sepenuh hati akan diterima sepenuh hati juga oleh penikmatnya.

Gue menerapkannya bersamaan dengan ajaran Baba tentang konsep berusaha, bersabar, bersyukur, dan ikhlas. Meskipun ... hati gue merasa sedih ketika pembaca gue protes-mengancam nggak akan nonton-karena aktor dan aktris utama yang memerankan tokoh di novel gue nggak sesuai dengan ekspektasi mereka. Atau ketika gue sadar bahwa film yang diadaptasi dari novel gue mendapatkan perlakukan yang berbeda dengan film adaptasi novel lain-yang ceritanya udah dibaca puluhan juta kali di Wabby Web.

Up and DownWhere stories live. Discover now