Epilog

59 24 22
                                    

"Aku mau ke kota sihir!" Suara riang seorang anak kecil terdengar di sebuah kamar di kastel Kingsfort.

"Boleh saja, tapi tunggu sampai ibu cukup sehat ya. Adikmu kan baru saja lahir."

"Tapi aku sudah tak sabar, Bu," sahut si bocah masih berusaha merajuk.

"Hmm ... bagaimana kalau kau pergi sendiri?" tanya sang ibu setengah bercanda.

"Tapi aku takut dengan penyihir jahat. Bagaimana kalau mereka menyakitiku?

"Para penyihir baik akan melindungimu."

"Benarkah? Aku benar-benar penasaran seperti apa para penyihir itu. Ayo, ceritakan mengenai mereka," pinta si bocah.

"Baiklah, sekarang berbaringlah. Ibu akan menceritakan kisah tentang para penyihir."

Mendengar ibunya, si bocah bergegas naik ke tempat tidur dan berbaring di situ.

Sang ibu menghela napas sejenak sebelum mulai bercerita. "Di antara mereka ada yang mengeluarkan api dari tangannya, ada juga yang bisa menyembuhkan. Sementara itu, yang lain bisa berteleportasi. Bahkan ada yang bisa menciptakan serigala atau membaca pikiranmu."

"Wah, hebat sekali."

"Tentu saja. Tapi yang paling istimewa dari mereka bukanlah kemampuan itu, melainkan kebaikan hati dan sikap kesatria mereka. Saat dewa kematian datang menyerang, mereka ikut berperang melindungi kota ini."

"Dewa kematian pasti sangat kuat."

"Kau benar, dia memiliki pasukan dari orang-orang yang sudah mati."

"Itu sungguh mengerikan," timpal si bocah.

"Ya, tapi dengan bantuan dari Ignam Vintris dan para elzif, ayahmu bersama para penyihir akhirnya berhasil mengirimnya kembali ke neraka."

"Wah, mereka sangat hebat."

"Tentu saja. Saat sudah besar nanti, kau juga akan menjadi hebat seperti mereka. Nah, sekarang tidurlah, hari sudah malam," bisik sang ibu sambil mengecup kening putranya.

"Baik, Bu." Sesuai instruksi sang bunda, anak itu pun memejamkan mata dan segera terlelap.

Sementara itu, sang ibu keluar dari kamar untuk kembali pada Andrew, suaminya.

"Dia sudah tidur?" tanya Andrew.

"Ya, dia tertidur setelah aku menceritakan kisah tentangmu dan para penyihir," sahut perempuan itu sambil berbaring di sebelah suaminya. Sementara itu, sebuah sebuah boks bayi terletak tak jauh dari situ.

"Hahaha ... dia tak pernah bosan mendengar cerita itu."

"Kau tahu? Dia juga ingin pergi ke Bergstone."

"Tentu! Setelah kau benar-benar pulih aku akan mengatur perjalanan ke sana. Kau juga pasti sangat merindukan kampung halamanmu kan?"

Sambil menyandarkan kepala di bahu Andrew, Zalika pun tersenyum sambil mengangguk.

Putra Penyihir - Raung KehancuranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang