Part 14

2.1K 339 16
                                    

"Memangnya siapa yang suruh?" Daren memberikan tatapan tajamnya pada Calista, sebelum meninggalkan tempat itu.

"Padahal kalau Om bilang nggak suka nasi goreng, Zain ngerti kok. Zain juga nggak akan memaksa Om untuk memakannya," gumam Zain seraya menatap kepergian Daren dengan sedih. Bocah itu pasti sangat kecewa melihat nasi goreng yang dibuatnya dengan susah payah tidak disentuh sedikitpun oleh Daren.

Calista menunduk dihadapan sang anak, mensejajarkan wajah mereka. "Om pasti lagi buru-buru, Zain jangan sedih ya," ucapnya seraya menarik Zain kepelukan.

"Mama jangan bohong, Om kelihatannya marah sama Zain. Apa Zain sudah membuat Om kesal?"

Calista mencelos, ia menyadari sang putra memang anak yang cerdas sehingga sejak dulu tidak mudah baginya mengelabuhi bocah itu. Tapi sungguh Calista tidak ingin membuat anaknya sedih dengan mengatakan sejujurnya mengenai kebencian Daren pada mereka. Salahnya memang yang tidak mengantisipasi sejak awal akan adanya kejadian ini. Ia terlalu terbuai akan perhatian yang Daren berikan pada mereka dalam beberapa hari ini hingga tidak mengingat jika pria itu membenci mereka.

"Mungkin Zain benar. Maka itu mulai sekarang Zain harus lebih menjaga sikap ya, Zain nggak boleh asal peluk-peluk Om seperti tadi lagi." Calista menggenggam bahu putranya, berbicara dengan lembut pada bocah itu.

"Tapi kan Zain lakuin itu karena Zain kangen sama Om," sahut Zain sambil menundukkan wajah sedihnya. "Zain sayang sama Om karena Om selalu baik sama kita."

Zain memang anak kecil yang tulus, ia selalu dapat melihat sisi baik seseorang. Tanpa terasa mata Calista memanas. Hatinya terasa hancur melihat kesedihan yang putranya tampilkan. "Mama mengerti, tapi asal Zain tahu tidak semua orang itu suka dipeluk. Karena ada sebagian orang yang merasa risih saat harus bersentuhan dengan orang lain, apalagi kan Om belum lama mengenal Zain," tuturnya sambil mengabaikan sesak yang menekan hatinya saat dengan terpaksa menirukan sebutan sang anak pada pria itu.

"Baik Ma, Zain janji nanti Zain nggak akan main peluk-peluk Om lagi dan juga akan menjaga sikap Zain mulai sekarang," ucap Zain pada akhirnya, ia kembali menenggelamkan wajahnya ke dada Calista-mencari ketenangan didalam pelukan wanita yang sudah melahirkannya itu.

***

"Apa ini?" Daren melempar berkas laporan dihadapan sekertarisnya. "Saya memintamu mengambilkan laporan bulan lalu dan kau malah memberi saya laporan minggu ini? Memangnya kau tidak bisa baca?" sentaknya keras.

"Maaf Pak, tadi Anda yang bilang sendiri ingin memeriksa laporan minggu ini?" cicit sang sekertaris

"Jadi maksudmu, ini kesalahan saya?" Daren menatap tajam dengan kedua lengan bersilang didepan dada. Sikapnya berhasil mengintimidasi sang sekertaris.

Wanita berusia empat puluh tahunan itu terlihat sangat tertekan pasalnya sejak pagi bosnya itu selalu saja marah-marah untuk hal-hal kecil sekalipun. Padahal yang ia kenal, meski selalu ingin hasil yang sempurna tapi bosnya bukanlah bos pemarah yang kerap mencari-cari kesalahan dirinya. Apalagi ia sudah bekerja lama sebelum Daren memimpin perusahaan ini, biasanya Daren tidak pernah bersikap seperti ini padanya.

"Ada apa? Tumben sekali kau marah-marah sudah seperti Eve kalau lagi datang bulan aja!"

Kedatangan Aryan-anak pertama dikeluarga Mangkuraja-seketika menyadarkan Daren. Usai meminta sekertarisnya untuk meninggalkan ruangan, ia mendekati kakak tertuanya itu yang kini sudah membaringkan dirinya di sofa.

"Kau datang kemari hanya untuk numpang tidur?" cibir Daren seraya memberikan tatapan kesalnya pada sang kakak.

"Kenapa, apakah kau ingin dipeluk?" Aryan membalas tatapan Daren dengan senyum terkulum.

Calista (My You)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum