BAB 7

1 2 0
                                    

PUKUL Lima sore, Arlene membereskan barang-barang yang ada di rumah ini, memasukan padi dan beberapa umbi-umbian kedalam karung lalu mengikatnya kencang-kencang.

Arlene celingak-celinguk mencari keberadaan Alven, sedari tadi ia tidak melihat batang hidung cowok itu berada di dalam rumah. Apa cowok itu pergi keluar?

"Kemana sih, si Alven!? Udah mau jam enam tapi gak keliatan sama sekali batang idungnya, padahal barang-barangnya belom diberesin," ucap Arlene melihat baju Alven berceceran dimana-mana, "Ogah gue beresin." Arlene mengangkat bahunya tak acuh, lalu berjalan keluar untuk duduk didepan rumah.

"Rame banget, ada apaan sih?"

Walaupun begitu, Arlene tetap duduk memperhatikan orang-orang yang sangat sibuk berlalu-lalang. Sampai bahunya ditepuk oleh seseorang.

"Teu ngalayat, Neng?"

"Hah? Ibu ngomong sama saya?"

Si ibu itu mengangguk.

"Aduh, Bu, kalau ngomong sama saya tuh jangan pake bahasa aneh, pake bahasa baku aja bisa?" ucap Arlene songong.

"Neng dari kota, ya?"

"Emang keliatannya saya kampungan?"

Si ibu tetap sabar.

"Ada banyak orang yang meninggal, Neng nggak mau ngeliat?"

"Orang meninggal ngapain di liat, Bu? Nggak berfaedah, dia juga nggak bakal idup lagi."

"Yaudah atuh, saya permisi."

Si ibu terlihat ngambek, dari cara jalannya yang di hentak-hentakan dan nada bicaranya yang ketus.

"Dih, ga jelas banget itu ibu-ibu." Arlene menatap ibu-ibu yang sudah menjauh itu dengan tatapan menjengkelkan.

Tapi tak lama tatapannya teralihkan dengan seorang laki-laki yang berlarian dengan pakaian dipenuhi oleh tanah.

Sejak kapan Alven menjadi gembel? Pertanyaan yang terngiang dibenak Arlene.

Hosh ... hosh ... hosh....

"Darimana lo?" tanya Arlene melirik Alven yang duduk disebelahnya.

"Sebentar." Alven mengatur nafasnya agar lebih teratur, "Gue abis gali kubur, banyak peserta yang meninggal."

Arlene mengerutkan keningnya, "Bukannya peserta yang meninggal bakal ilang sendiri? Ngapain dikubur?"

"Biar warga gak curiga."

Arlene mengangguk mengerti. Di dalam otaknya masih banyak pertanyaan yang harus ditanyakan.

"Kalau mereka mati, pendampingnya ikut mati terus orang yang mereka perjuangin juga bakal mati?"

"Iya." Sebuah kata singkat yang sudah menjawab semua pertanyaan di benaknya.

"Yaudah sana, beresin baju-baju lo, sebentar lagi kita pindah desa, kan?"

Alven menggeleng, "Kita tetap di sini sampai orang yang luka bener-bener mati."

Bugh!

"LO KENAPA GAK BILANG-BILANG SIH? GUE UDAH BERES–"

Alven membekap mulut Arlene menggunakan tangannya, tapi tak lama tangannya dihempaskan kasar oleh cewek itu.

"Tangan lo bau azab!"

"Lo berisik, gak baik teriak-teriak pas orang-orang lagi berduka, liat tuh diliatin banyak warga." Arlene melirik sekilas orang-orang di depannya, ia lupa jika posisinya masih di luar.

WERELDEN Where stories live. Discover now