BAB 5

18 3 21
                                    

Kalau gue nggak bisa ngelindungin lo lagi, itu artinya gue emang udah bener-bener nggak mampu.

--Ophiavlen remdika--

TUBUH mereka langsung berpindah tempat, jantung mereka terasa sesak dan kepala mereka merasakan pusing yang luar biasa.

Ditambah dengan mereka berdua yang sudah berada di atas pohon dengan ketinggian mencapai mencapai 50 Meter. Rasanya ingin menyerah sebelum permainan dimulai.

Alven menarik tangan Arlene agar berpelukan dengan batang pohon, sementara dirinya mencari dedaunan untuk menutupi tubuh mereka agar tidak terlihat.

Setelah selesai, Alven melakukan hal yang sama, yaitu memeluk batang pohon untuk mengurangkan pusing dan mual yang datang secara bersamaan.

"Pusing gila, mau mati gue rasanya." Arlene memejamkan matanya kuat-kuat ketika menengok ke bawah melihat bumi yang serasa berputar 180°.

Angin berhembus kencang bak sedang ada angin puting beliung, kilat menyambar rerantingan yang berada di dekat mereka. Bersamaan dengan itu, muncul segerombolan kunang-kunang yang tiba-tiba berubah menjadi sosok Matilda.

"Arlene...." panggilnya lembut.

"Lo bisa nggak sih kalo dateng nggak usah bawa badai?! Bikin ajal gue makin deket tau ga?!" jawab Arlene sewot. Karena sesungguhnya ia merasa benar-benar akan meninggal karena badai dan petir yang terus menyambar.

"Ah, Maaf. Aku kesini hanya untuk menyampaikan peraturan di game kali ini."

"Yaudah apaan?! Kecilin dulu kek anginnya, gue serasa mau terbang ke pangkuan Tuhan."

Matilda tersenyum, ternyata Arlene belum juga berubah. Masih sama-sama ketus dan belum menerimanya. Dengan satu kali jentikan jari, Matilda mengubah angin yang mengelilingi pohon ini menjadi kabut.

Sama saja bohong sih, tapi setidaknya ini lebih baik daripada angin tornado tadi.

"Kekuatanmu tidak akan berlaku di game kali ini. Jika kepalamu terkena ketapel, maka kau akan tereliminasi dan Ibumu akan meninggal."

"Jing!" umpat Arlene tertahan tapi masih bisa di dengar oleh Matilda.

"Aku hanya ingin memberi tahumu itu. Maka bekerja samalah dengan partnermu agar kalian berhasil walaupun aku tidak bisa menjamin."

Tidak ada respon dari Arlene. Matilda yakin anak itu mendengar hanya saja tidak ingin menjawab.

Sudah biasa.

Sebelum pergi, Matilda dengan segala kekuatannya memvitkan stamina tubuh Arlene dan partnernya agar menjadi segar dan lebih gesit. Setelahnya bayangan Matilda yang menyerupai asap itu pergi bersamaan dengan keadaan hutan yang mulai ricuh.

Di tengah gelapnya Malam, Arlene menarik kaki Alven agar turun dan duduk di samping dirinya. Bertujuan untuk lebih gampang berkomunikasi.

"Ven, lo kalo kena ketapel mati, gak?" tanya Arlene.

"Mati lah."

"Bukannya lo kalo mati bisa idup lagi? Kemaren aja pala lo buntung bisa nyambung lagi, kok sekarang nggak? bukannya lo diciptain buat ngelindungin gue, ya?"

WERELDEN Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum