02.

19 1 0
                                    

Siang ini aku sangat tidak bersemangat pergi ke kantin walaupun perutku sudah berdemo sejak pagi untuk diisi. Aku tidak lagi marah, hanya sedih dan tidak ingin bertemu banyak orang setelah mendengar ledekan Jaden tadi pagi. Walau nyatanya aku tetap tersenyum saat ada yang menyapa namun tak dapat dipungkiri aku segera ingin pulang ke rumah. Social battery ku tampaknya sudah habis.

"Cemberut terus, kenapa?" tanya Juna yang mengambil tempat duduk di sebelahku.

"Pengen pulang, pusing," keluhku meletakkan kepala di atas meja.

Arjuna atau yang akrab dipanggil Juna, anak laki-laki yang juga teman sekelas dan teman sejak kecilku ini langsung meletakkan tangannya di dahiku dan sejenak diam. Suhu tubuhku normal, pasti ada sesuatu yang tidak beres pikirnya. 

"Ah, laper kali lu makanya pusing," lanjutnya berkomentar.

"Iya kali," gumamku.

Tak lama Ningning datang dengan membawa dua mangkuk mie ayam favorit di kantin. Niatnya ingin berbagi padaku tapi aku benar-benar sedang tidak ingun makan lalu aku berikan saja pada Juna.

"Jaden keterlaluan banget deh," ujar Ningning sambil mengaduk mie ayamnya.

"Jaden? Anak baru yang kemaren itu?" tanya Juna mengambil kecap di depannya.

"Iya, masa' dia ngeledekin Sachi bawa-bawa mamanya Sachi. Kesel banget gue," seru Ningning kembali emosi.

"Oh, jadi lu badmood gara-gara itu? Dia belum tau kayaknya kan anak baru," ucap Juna mencoba menenangkan aku dan Ningning.

Aku memutar bola mata malas. Justru karena Jaden anak baru tidak seharusnya dia membuat lelucon seputar privasi orang lain yang baru dikenalnya. Jujur, aku mengerti jika Jaden mungkin ingin lebih akrab mengingat kami duduk bersebelahan tapi di luar dugaan Jaden malah membuatku kesal.

"Chi, udah makan?" tanya Chan yang tiba-tiba duduk di depanku.

"Makan ati dia, Chan," ledek Juna dan langsung saja ku pukulan lengannya.

"Lah, bukannya gak doyan?"

"Bodo, Chan," seruku membalas.

"Kenalin, ini Jason. Jas, ini Sachi, Juna sama Ningning," ucap Chan memperkenalkan teman di sampingnya. Lucu, dia mempunyai eye smile yang menggemaskan saat tersenyum dan menjabat tangan kami satu persatu. Bahkan Ningning sampai tak berkedip menatap anak baru ini.

"Heh, sadar lu!" bisikku sambil menyenggol lengan Ningning.

"gak usah genit!" ujar Chan mengusap wajah Ningning. Hih, cemburu dia.

"Cemburu lu?" ledek Jason pada Chan.

Aku memperhatikan wajah Jason, teringat seseorang tapi siapa ya? Wajahnya tidak asing, seperti de javu kami pernah bertemu sebelumnya.

"Gak, apaan cemburu!" elak Chan.

"Kamu sekelas sama Chan?" tanya NingNing.

"Najis pake aku kamu! Biasa juga pake cak cuk lu sama gue!" Kali ini Juna yang tidak terima. Maklum, Ningning memang tidak bisa melihat lelaki tampan, hormonnya seketika naik.

"Gak supportive amat sih jadi temen!" seru Ningning merajuk.

"Santai aja, iya gue sekelas sama Chan. Kebetulan jadi temen sebangkunya," jawab Jason masih dengan sunggingan eye smile nya yang berbentuk bulan sabit.

"Oh, hehe..," kekeh Ningning mulai salah tingkah.

Jason pun duduk di sebelah Ningning, memesan makanan yang sama lalu ngobrol-ngobrol hingga jam masuk tiba. Untuk seorang murid baru, dia cukup cepat beradaptasi dan akrab dengan lingkungan barunya. Tidak beda jauh dengan Chan yang memang social butterfly, aku yakin tidak lama lagi dia jadi salah satu lelaki most wanted di sekolah.

LACUNAWhere stories live. Discover now